Spektrum Pertanggungjawaban HAM atas Air

Share on facebook
Share on twitter
Share on whatsapp
Share on email
Share on print

Oleh: Edisius Riyadi Terre

Pengantar: Dasar Legal Hak atas Air

Hak atas air adalah bagian tak terpisahkan dari hak asasi manusia. Secara material-substansial dia menjadi bagian dari hak ekonomi, sosial dan budaya (Kovenan Hak Ekosob, 1966, Pasal 11 tentang makanan, pakaian dan perumahan dan Pasal 12 tentang kesehatan). Secara khusus, Komite Hak Ekosob (setiap Kovenan atau Konvensi PBB memiliki Komite yang tersusun atas para pakar yang memonitor dan mengkaji problem hak asasi manusia yang berhubungan dengan Kovenan atau Konvensi bersangkutan), pada November 2002 mengeluarkan pendapat resmi yang lazim disebut Komentar Umum, yaitu bahwa:

Pasal 11 ayat 1 Kovenan Ekosob menegaskan sejumlah hak yang memancar dari, dan tidak dapat diabaikan untuk, pewujudan hak tersebut pada sebuah standard hidup yang memadai “termasuk makanan, pakaian, dan perumahan”. Penggunaan kata “termasuk” menunjukkan bahwa katalog hak-hak ini tidak dimaksudkan sebagai daftar yang lengkap dan final. Hak atas air jelas-jelas termasuk dalam kategori jaminan esensial untuk menjamin standard hidup yang memadai, khususnya karena ia merupakan satu dari syarat paling fundamental untuk hidup. (Komentar Umum No. 15/2002, penekanan dari saya).

Tetapi secara esensial (hakikatnya), dia adalah bagian fundamental dari hak atas hidup yang dalam wacana HAM internasional dimasukkan sebagai hak sipil dan politik (Pasal 6 Kovenan Hak Sipol, 1976). Secara konseptual, pencantuman hak atas hidup hanya pada hak sipil dan politik sebenarnya bermasalah, karena seolah-olah di satu sisi Hak Sipol menjadi dasar atau justifikasi bagi Hak Ekosob – jadi hubungan antara Hak Sipol dan Ekosob tidak setara – dan di sisi lain seolah-olah Hak Ekosob tidak secara langsung mengaitkan kebutuhan mendasar (basic needs) manusia (yang ada dalam Hak Ekosob) dengan hak atas hidup (dalam Hak Sipol). Tetapi tulisan ini tidak mengkritik hal itu (yang tentu akan menjadi suatu perdebatan panjang tapi menarik sekaligus menggugat paradigma konvensional HAM yang lama-lama semakin terasa konservatif saja), melainkan lebih memfokuskan perhatian pada spektrum pertanggungjawaban oleh aktor-aktor terkait, terutama negara sebagai pengampu kewajiban utama, dan juga mengintrodusir kewajiban aktor bukan negara.

Pertemuan para pakar yang diselenggarakan UNESCO di Paris pada Juli 2009 juga menegaskan kaitan Pasal 25 Deklarasi Universal HAM dengan air:

Pasal 25 DUHAM menegaskan bahwa “Setiap orang berhak atas tingkat hidup yang memadai untuk kesehatan dan kesejahteraan dirinya dan keluarganya, termasuk hak atas pangan, pakaian, perumahan dan perawatan kesehatan serta pelayanan sosial yang diperlukan … ” yang mana perealisasiannya tidak dapat tidak tanpa akses pada jumlah minimum kebutuhan atas air.

Selain itu, ada dua konvensi internasional lainnya yang secara jelas-jelas memasukkan hak atas air sebagai bagian dari ketentuannya, yaitu: (1) Konvensi Menentang Diskriminasi terhadap Perempuan (CEDAW) 1979, Pasal 4 Ayat 2 (h) secara eksplisit menetapkan hak atas air dengan menyatakan bahwa “wanita pedesaan memiliki hak atas kondisi kehidupan yang memadai, termasuk hak atas air” (penekanan dari saya); (2) Konvensi Hak Anak (CRC) 1989, Pasal 24 Ayat 2 (c) menetapkan bahwa semua anak memiliki hak atas standard kesehatan yang diupayakan paling baik yang dijamin antara lain melalui ketentuan tentang air minum yang sehat dan mencukupi.

Hukum Humaniter Internasional (Konvensi-Konvensi Jenewa) juga mengakui hak atas air, tetapi dalam konteks perang, belum lagi pelbagai Konvensi Regional dan Panduan (Guidlines) yang dikeluarkan oleh Badan-Badan di PBB.

Aktor Pemangku Kewajiban

 Negara ditagih pertanggungjawabannya atas HAM karena dia memang sudah seharusnya bertanggung jawab, dan sekaligus penagihan akuntabilitas itu merupakan “pengakuan” akan eksistensi negara tersebut oleh warganya. Jika warga tidak pernah meminta dan menagih lagi kepada negara, ada kemungkinan bahwa para warganya sudah sejahtera semua (ini mustahil dan tidak realistis) atau para warganya sudah tidak peduli atau tidak pernah menganggap bahwa negara itu masih ada (dan ini adalah bentuk “anarki diam-diam” yang juga bisa mengejawantah dalam bentuk anarki yang lebih revolusioner jika dalam “anarki diam-diam” negara tetap saja menyerang dengan tangan besinya).

Namun sangat beda halnya dengan aktor bukan negara. Jika sebuah perusahaan dimintai pertanggungjawaban itu bukan berarti bahwa “kehadiran” dia di sebuah masyarakat diakui, diterima, atau sah. Dia dituntut akuntabel bukan karena kehadirannya yang sah melainkan karena perbuatan atau tindakannya. Kalau relasi pertanggungjawaban negara dengan warganya bersifat resiprokal dan saling menjustifikasi (sebagaimana seorang anak berani meminta uang pada ayahnya persis karena dia adalah ayahnya, dan justru dengan meminta itu dia secara tidak langsung mengakui eksistensi ayahnya itu sebagai ayahnya sekaligus juga menggugat dan menunjukkan ketidakperhatian atau ketidakpedulian ayahnya pada kebutuhannya), maka relasi pertanggungjawaban perusahaan privat dengan warga masyarakat bersifat tidak simetris: warga Muara Baru, Jakarta Utara, misalnya, meminta Palyja untuk membenahi sistem pelayanan air sekaligus memberi ganti rugi atas pelbagai sakit dan wabah yang disebabkan air yang kotor dan penuh bakteri, dan hal itu dilakukan warga bukan karena mengakui eksistensi sahih Palyja sebagai “pengampu tanggung jawab” bagi publik, melainkan karena ia yang nyata-nyata ada, hadir dan berbuat di lapangan. Jika ia tidak bertanggung jawab maka semakin besarlah penolakan atas eksistensinya di masyarakat. Dalam hal terakhir ini, baik negara maupun Palyja, ketidakbertanggungjawaban mereka atas pemenuhan hak atas air bagi warga Muara Baru, misalnya, tidak serta merta menghentikan tuntutan warga. Tuntutan hanya berakhir setelah dipenuhi.

Dua Prinsip Etis yang Utama

 Baik negara maupun privat sama-sama harus berangkat dari prinsip etis pertanggungjawaban yang pertama dan mendasar yaitu do no harm principle (prinsip tidak boleh melakukan kerusakan, pelanggaran), yang sering juga disebut sebagai negative duty (kewajiban negatif; dikatakan “negatif” karena ada kata “tidak boleh”). Perbedaannya, pelanggaran terhadap prinsip paling mendasar ini berbeda implikasinya. Kalau negara yang melanggar, implikasinya hanya sampai pada batas perubahan kebijakan, paling banter reformasi atau revolusi, tetapi tidak sampai pada penghapusan negara, karena dengan demikian konsep tentang tanggung jawab HAM menjadi tidak dapat dimaknai. (Dalam analogi kita di atas tadi, tuntutan si anak kepada sang ayah hanya dapat dimengerti sejauh tindakan si anak itu didasarkan pada, dan merupakan, pengakuan akan eksistensi sang ayah sebagai ayahnya. Jika ia tidak mengakui eskistensi sang ayah sebagai ayahnya, ia masih mungkin masih bisa meminta sesuatu [pertanggungjawaban] tetapi tidak dalam kapasitas si ayah sebagai ayah, melainkan sebagai pribadi yang lain, dan karena itu implikasi dan karakter pertanggungjawabannya tentu berbeda.) Namun, kalau privat yang melanggar, implikasinya bukan hanya sampai pada perubahan kebijakan termasuk kontrak kerja sama, tetapi bisa berujung pada pengusiran atau “penghilangan” perannya dalam masyarakat.

Dalam konsep “tanggung jawab”, negara dari dirinya sendiri (secara inheren) sudah selalu ada dengan tanggung jawab yang melekat, sementara perusahaan, Palyja misalnya, tidak. Artinya, negara hadir atau tidak hadir, berbuat atau tidak berbuat, ia sudah selalu dalam dirinya dapat dimintai pertanggungjawaban kapan pun dan bagaimanapun. Misalnya, jika hak atas air masyarakat Muara Baru tidak terpenuhi, karena negara tidak hadir di sana, maka negara pasti dan tidak bisa tidak dimintai pertanggungjawaban. Sebaliknya, perusahaan, jika memang secara nyata tidak pernah hadir, maka ia tidak dapat dimintai pertanggungjawaban. Tetapi jika ia sudah hadir, tetapi tidak mengimplementasikan kehadirannya secara nyata, ataupun hadir tetapi dengan merusak (melanggar prinsip etis pertama, do no harm principle), maka ia dimintai pertanggungjawaban. Tidak bisa tidak. Misalnya, kembali memakai contoh kasus Muara Baru, jika hak atas air masyarakat di sana tidak terpenuhi, dan Palyja “tidak pernah hadir” dalam bentuk kontrak dengan PAM Jaya (pemerintah, negara), dan yang ada hanyalah negara (air dikelola sendiri oleh PAM, pemerintah), maka Palyja tidak dapat dimintai pertanggungjawaban. Mengapa? Karena ia “tidak ada”. Kita tidak dapat meminta pertangungjawaban dari sesuatu yang tidak ada. Tetapi, karena ia “sudah ada” dalam bentuk kontrak dan memang sudah diketahui publik bahwa ia ada, tetapi ia justru tidak menunjukkan kehadirannya berupa tanggung jawab pelayanan, atau ia hadir tetapi dengan merugikan masyarakat Muara Baru mulai dari tidak terpenuhinya hak atas air sampai kepada akibat-akibat lainnya berupa sakit dan wabah penyakit dan pengeluaran tambahan yang disebabkan oleh pelayanan air yang buruk dan tidak sehat, ataupun karena tidak terlayaninya kebutuhan masyarakat atas air, maka ia tidak dapat tidak dimintai pertanggungjawaban. Dalam konteks ini, pemenuhan tanggung jawab Palyja tidak menambahkan justifikasi atas eksistensinya, tetapi pengabaian dia akan tanggung jawabnya akan meruntuhkan justifikasi atas keberadaannya, dan karena itu ia layak diusir. Dia ada untuk melakukan sesuatu, dan sesuatu itu adalah demi “kebaikan masyarakat.” Jika sebaliknya yang terjadi yaitu bahwa di satu sisi ia tidak melakukan sesuatu, atau di sisi lain ia melakukan sesuatu tetapi untuk kerusakan, penyakit dan kesengsaraan masyarakat, lalu untuk apa dia ada, apalagi dipertahankan? Hanya manusia yang tidak berakal sehat dan tidak bermoral bisa mempertahankan keberadaannya.

Meskipun hal itu dapat diterima secara konseptual (rasional dan etis), tetapi dalam praktiknya hal itu sangat sulit, persis karena adanya faktor kekuasaan (power) dan bukan kewenangan (otoritas). Perusahaan mempunyai kekuasaan real untuk hadir di sebuah masyarakat, tetapi dia tidak mempunyai kewenangan apa pun. Negara mempunyai keduanya, baik kekuasaan real dan kontraktual maupun kewenangan. Karena itu, advokasi HAM dewasa ini tidak bisa lagi memakai kaca mata kuda: menembak langsung semata-mata pada gugatan terhadap kewenangan negara yang memungkinkan sebuah perusahaan beroperasi di sebuah masyarakat. Advokasi HAM di satu sisi tetap mengarahkan perhatian utamanya pada menggugat kewenangan negara yang salah dan sekaligus menguatkan kewenangan negara yang membatasi kehadiran privat, di sisi lain mengarah pada perlawanan langsung terhadap manifestasi kekuasaan real aktor privat itu di lapangan.

Dalam kaitan dengan pelayanan air minum untuk rakyat, kita ambil PAM Jaya sebagai contoh kasus. Pelayanan air minum Jakarta dikenal sangat buruk dan membawa korban. Operatornya dipegang oleh dua perusahaan privat yaitu Lyonaise dan Aetra (dulu Thames). Gugatan terhadap “kekuasaan real” kedua operator swasta ini dapat dilakukan dengan pelbagai cara, antara lain: boikot, demonstrasi, tidak membayar tagihan, class action, dsb. Hal yang sama juga bisa dilakukan terhadap negara, tetapi perlu ditambah dengan gugatan terhadap otoritas atau penggunaan otoritasnya, yang mengarah pada kontrak kerja sama dan kebijakan negara pada umumnya terkait dengan investasi.

Prinsip etis (dalam kaca mata etika politik, prinsip etis ini dipahami sebagai prinsip politik) yang kedua yaitu affirmative duty atau positive duty. Negara dan aktor bukan negara tidak cukup hanya “tidak melakukan kerusakan” di masyarakat, melainkan perlu tindakan afirmatif atau positif. Namun ada dua hal yang harus diperhatikan secara cermat di sini. Pertama, penerapan kewajiban positif ini hanya sah sejauh kewajiban pertama di atas yaitu kewajiban negatif sudah dihargai. Tanpa itu, tindakan positif negara dan aktor bukan negara tidak dapat dibenarkan, apalagi menjadi semacam pertukaran (trade-off) atas kewajiban pertama tersebut. Misalnya, Lyonaise memberikan uang atau sembako atau obat atau apa pun kepada masyarakat Jakarta, lebih khusus lagi, kepada masyarakat korban di Muara Baru (misalnya), tindakan itu tidak boleh diartikan sebagai tindakan positif yang membenarkan atau menggantikan kelalaian atau pelanggaran mereka terhadap masyarakat Muara Baru yang susah sekali mendapatkan air minum atau masyarakat lain yang berlimpah air tetapi air yang penuh penyakit dan kotor, dan karena itu menimbulkan wabah penyakit seperti kolera, disentri, dll.

Kedua, penekanan kewajiban positif kepada negara tidak boleh sama bobotnya dengan privat. Negara memang perlu ditekan sepenuh-penuhnya untuk menjalankan kewajiban positifnya karena memang itulah kewajibannya, bahkan dalam bahasa filsafat politik, memang itulah raison d’etre-nya, alasan adanya negara, di mana jika ia tidak melakukan itu maka eksistensinya sebagai negara menjadi dipertanyakan dan karena itu legitimasinya runtuh karena ketidakmampuannya (defeated by perfomance). Namun, penekanan berlebihan kepada pihak swasata untuk melakukan tindakan positif justru akan menjadi pembenaran bagi kehadirannya di masyarakat dengan cengkeraman tentakel-tentakelnya yang semakin mencekik dan eksesif. Kekuasaan jahatnya kemudian dibungkus dengan memelintir konsep CSR dengan hanya menekankan aspek filantropiknya saja dan diarahkan pada membangun citra, dan menafikan ketiga aspek penting lainnya yaitu aspek tanggung jawab legal, etis dan ekonomi. Karena itu, penekanan kewajiban positif pihak swasta harus pertama-tama didasarkan pada penekanan pada kewajiban negatifnya, dan kalau itu sudah beres tidak ada cacat cela, baru melangkah ke kewajiban positif yang juga harus ditekankan secara proporsional dalam arti tidak boleh melebihi kewajiban positif negara.

Informasi Lainnya :