SIARAN PERS
Rabu 17, Februari 2021
Gambar 01. Banjir mencapai lebih dari 1 meter di Desa Semanga (doc: Muji)
Banjir melanda tiga desa di Kecamatan Sejangkung, Kalimantan Barat: Sepantai, Semanga dan Perigi Limus selama 2 minggu terakhir dengan jumlah korban lebih dari 1,000 kepala keluarga (KK). Banjir kiriman dari Bengkayang diduga menjadi penyebab utama. Sejak 2005, banjir terjadi setiap tahun dengan rata-rata jumlah korban mencapai 60 ribu orang. Sejangkung adalah salah satu kecamatan yang berada di Daerah Aliran Sungai (DAS) Sambas yang menyangga 4 kabupaten: Sambas, Sanggau, Bengkayang dan Landak.
Gambar 02. Pembersihan lahan untuk penanaman kembali PT. Agronusa Investama di Sejangkung pada tahun 2019 (doc:ECOTON)
Sejangkung merupakan bagian dari 4 Sub-DAS Sambas: Sajingan, Simpang Kanan, Simpang Kiri, dan Sambas Kecil yang >70% tata guna lahan berupa perkebunan kelapa sawit (lihat gambar 02). Pembukaan lahan dan/ proses penanaman kembali sawit, menyebabkan erosi dan menambah beban sedimen yang masuk ke sungai dan pendangkalan kanal serta sungai. Sementara proses pemanenan dan pembersihan rumput/ semak yang dilakukan berulang kali, memadatkan tanah menyebabkan tanah sulit ditembus air hujan sehingga meningkatkan aliran permukaan.
Kombinasi pendangkalan sungai dan peningkatan aliran permukaan membuat resiko banjir semakin besar. Hal ini diperparah dengan kecamatan yang wilayahnya berada di sepanjang sungai Sambas, diantaranya Sejangkung merupakan kawasan gambut yang dikeringkan untuk sebagai perkebunan kelapa sawit. Gambut terdiri atas 90% air dan 10% bahan organik (karbon). Ketika pengeringan gambut terjadi, maka karbon berubah menjadi CO2 dan menyebabkan penurunan muka tanah hingga setinggi permukaan air laut atau sungai. Gambut yang dikeringkan melepaskan 70% air dalam bentuk aliran permukaan dan kehilangan kemampuan untuk mengatur hidrologi lanskap yaitu sebagai bendungan saat puncak banjir.
Koordinator komunitas GEMAWAN untuk Sambas, menginformasikan bahwa banjir yang terjadi di desa dampingannya, Semanga (Sejangkung) terjadi pada persawahan dan pemukiman* dan merugikan 31 petani perempuan yang didampinginya. Setidaknya terdapat lebih dari 150 Ha sawah yang terancam gagal panen akibat banjir yang terjadi dan 100 rumah tangga (RT) penoreh karet kehilangan penghasilan hanya di Desa Semanga.
Sanitasi dan higienitas menjadi masalah saat banjir, karena warga memilih untuk tidak mengungsi dan tetap tinggal di rumah masing-masing. Warga harus menggunakan sampan untuk menuju jamban apung untuk melakukan kegiatan buang air besar/kecil (BAB/K). Pengalaman salah seorang relawan banjir, aktivitas buang air kecil (BAK) dia lakukan di kamar mandi yang terendam air sungai saat malam hari, karena merasa tidak aman untuk menuju jamban apung. Dalam kondisi pandemi Covid-19, sanitasi dan hygiene sangat penting untuk mencegah penyebaran dan hal ini sulit dilakukan ditengah kondisi bencana banjir saat ini. Hilangnya penghasilan rumah tangga penoreh karet selama banjir juga menambah beban ekonomi yang sudah ada, akibat turunnya harga kepingan karet.
Gambar 03. Peta indikatif KLHK
Di tengah krisis iklim saat ini, tidak bisa dipungkiri dampak dari kondisi iklim ekstrim dan peningkatan curah hujan seperti yang tengah melanda Indonesia saat ini membuat intensitas banjir semakin sering terjadi dan semakin luas juga area yang terkena seperti yang dialami di berbagai daerah di Kalimantan tahun ini.
Buruknya pengelolaan tata ruang, minimnya pemantauan dan evaluasi kepatuhan perkebunan kelapa sawit terhadap peraturan pengelolaan lingkungan hidup, lemahnya penegakan hukum sehingga perkebunan / perusahaan terus mengulangi pelanggaran yang sama, pengelolaan daerah aliran sungai (DAS) yang terkotak-kotak oleh wilayah administrasi serta tidak dilakukannya penghitungan daya dukung lingkungan menyebabkan rusaknya DAS Sambas dan merampas hak atas lingkungan hidup yang sehat dan hak atas penghidupan yang layak secara sosial, ekonomi, iklim, ekologi, dan budaya (Kovenan EKOSOB pasal 11) masyarakat.
Tindakan yang dilakukan pemerintah selama ini sekedar upaya ‘pengobatan’ dan bukan pencegahan. Kami melihat risiko banjir yang terjadi tiap tahun dapat dikurangi dengan cara:
- Melakukan penghitungan daya dukung dan daya tampung lingkungan yang hasilnya digunakan sebagai dasar perubahan kebijakan pengelolaan tata ruang, evaluasi perijinan (misal: HGU, pembuangan limbah cair) dan pengelolaan daerah aliran sungai terpadu (PSDAT)
- Membangun pengelolaan daerah sungai terpadu (PSDAT) DAS Sambas yang mengarus utamakan kesetaraan gender dan perubahan iklim dalam bentuk kemitraan antara publik/komunitas, swasta dan pemerintah dengan mengutamakan partisipasi publik/ komunitas dan melibatkan 4 kabupaten penyangga yaitu Sambas, Bengkayang, Sanggau dan Landak
- Meningkatkan kapasitas masyarakat sepanjang sungai dan anak sungai DAS Sambas untuk memantau dan melakukan pengaduan kerusakan DAS dengan membentuk jaringan komunitas pemantau DAS Sambas;
- Segera menaturalisasi dataran banjir yang merupakan kawasan konservasi dan rehabilitasi kawasan tangkapan air DAS Sambas dengan tanaman asli dan melibatkan masyarakat;
- Melakukan pemantauan dan evaluasi terhadap kepatuhan perkebunan kelapa sawit terhadap implementasi pengelolaan sumber daya air dan pengendalian erosi, termasuk kepatuhan untuk melakukan konservasi bantaran sungai dan tidak melakukan penanaman sawit di dalamnya;
Kami menyerukan agar pemerintah daerah bisa sungguh-sungguh bersama partisipasi publik untuk melaksanakan upaya pencegahan banjir dan perbaikan kondisi tata ruang sepanjang DAS Sambas sehingga banjir yang terjadi hari ini tidak terus-menerus berulang. Secara khusus mengevaluasi pembukaan perkebunan kelapa sawit yang semakin tidak terkendali yang telah secara signifikan berkontribusi terhadap kehilangan area dan daya dukung resapan air tanah, sehingga tidak bisa menahan tingginya curah hujan.
Kontak:
Riska (ECOTON) – 081252031456
Reza (GEMAWAN) – 081256005531
Muhammad Reza (KRuHA) – 081370601441
Tautan untuk bantuan: