Aksi! for gender, social and ecological justice – JALA PRT (Jaringan Nasional Advokasi Pekerja Rumah Tangga) KRUHA (Koalisi Rakyat Untuk Hak Atas Air) – KPI (Koalisi Perempuan Indonesia) – SP (Solidaritas Perempuan) WALHI (Wahana Lingkungan Hidup Indonesia)
Merespon “Summit for a New Global Financing Pact” a/n Penanggulangan Krisis Iklim oleh Prancis
Pada tanggal 22 dan 23 Juni 2023, “Summit for a New Global Financing Pact/ KTT untuk Pakta Pembiayaan Global Baru” akan diselenggarakan oleh Presiden Prancis Emmanuel Macron, yang mengklaim akan membuat pakta keuangan global “baru” dan “ambisius” untuk menanggapi krisis iklim. Namun, prakarsa ini sesungguhnya akan semakin menunda tanggung jawab terhadap pemenuhan pendanaan iklim tanpa syarat dari negara-negara maju, dan hanya meningkatkan risiko jebakan utang yang lebih dalam bagi negara-negara miskin dan berkembang.
Di tengah dunia yang dilanda berbagai krisis, berbagai inisiatif yang ditunggangi macam-macam kepentingan pemerintah negara-negara industri maju, lembaga keuangan internasional, dan kepentingan korporasi berbasis laba lainnya muncul dengan klaim “penanganan perubahan iklim”. Beberapa inisiatif ini bertujuan untuk memobilisasi dana hingga triliunan dollar dalam bentuk utang dan investasi korporasi. Upaya ini hanya akan semakin memperburuk utang publik, memperparah krisis ekonomi, memperpanjang rantai ketidakadilan, termasuk ketidakadilan gender, dan pemiskinan yang diderita oleh kelompok paling rentan, serta menunda tindakan iklim yang mendesak dan responsif yang sesungguhnya sangat dibutuhkan.
Krisis iklim di Indonesia telah menyebabkan berbagai bencana ekologis yang mengakibatkan korban jiwa, hilangnya tempat tinggal dan wilayah-wilayah kelola rakyat serta kerugian ekonomi makin parah bagi kelompok rentan. Pada April 2021 lalu, siklon tropis Seroja di Nusa Tenggara Timur menyebabkan korban jiwa hingga 182 orang, dan memaksa lebih dari 50.000 orang mengungsi, serta kerugian ekonomi tidak kurang dari 3,4 triliun rupiah. WALHI mencatat bahwa sejak tahun 2020 setidaknya ada 1.148 desa yang tenggelam, serta 12.000 desa lainnya terancam tenggelam sebagai dampak kenaikan muka air laut dan penurunan tanah di pesisir Indonesia.
Untuk menghadapi dampak perubahan iklim seperti ini negara-negara berkembang seringkali harus berutang untuk membangun kembali wilayahnya setelah bencana iklim melanda, dan akibatnya memaksa mereka untuk memprioritaskan pembayaran utangnya alih-alih melindungi warganya dari krisis iklim yang akan datang. Temuan Global Witness mengungkapkan bahwa negara-negara berpenghasilan rendah membelanjakan lima kali lipat anggaran adaptasi iklim mereka untuk pembayaran utang luar negeri.
Utang pemerintah Indonesia sendiri per Maret 2023 sudah mencapai Rp7.879 Triliun dengan pembayaran tahun 2022 sebesar Rp 467,5 Triliun baik cicilan pokok utang maupun bunga utang. Artinya ada sebesar 15% dari total belanja negara 2022 yang diperuntukkan untuk membayar utang. Dana publik yang seharusnya diperuntukkan bagi masyarakat akhirnya digunakan untuk membayar utang, sementara masyarakat yang hidup dalam kemiskinan. Per September 2022 jumlah orang miskin di Indonesia sudah mencapai 9,57% atau sebanyak 26,36 juta orang, semantara angka kemiskinan Indonesia sendiri jika dihitung berdasarkan perhitungan Bank Dunia akan mencapai 168 juta jiwa atau sebanyak 40% penduduk Indonesia.
Negara-negara industri maju yang secara historis berkontribusi terhadap sebagian besar emisi yang memicu perubahan iklim, mengakui memiliki tanggung jawab mengkompensasi kerugian dan kerusakan bagi negara-negara berkembang yang tidak berkontribusi secara signifikan namun menjadi pihak paling rentan dalam menghadapi dampaknya. Namun tanggung jawab ini saat ini makin seringkali diingkari dengan berbagai skema pendanaan iklim yang justru memperburuk negara-negara berkembang seperti Indonesia. Mereka justru mendesak negara-negara berkembang untuk meningkatkan ambisi penurunan emisi gas rumah kaca dengan memaksakan proyek-proyek yang disebut sebagai energi rendah karbon yang bersih dan terbarukan seperti geothermal, tenaga surya dan angin secara masif, agro-fuel, bendungan raksasa, dan lainnya yang pada akhirnya merebut tanah dan sumberdaya alam masyarakat, mencemari lingkungan dan memiskinkan mereka.
Dalam contoh pada sektor energi misalnya, sejak tahun 2013 hingga sekarang, negara-negara seperti AS, Jepang, dan China menggelontorkan utang tidak kurang dari 421 triliun Rupiah untuk proyek-proyek energi fosil di Indonesia. Namun kemudian mereka juga mendorong inisiasi pendanaan transisi energi dengan skema utang lagi sebesar 300 Triliun Rupiah dengan dalih upaya mengurangi emisi pada sektor energi. Skema semacam ini jelas upaya negara-negara maju untuk bukan saja lari dari tanggung jawab sebagai pengemisi besar yang menyebabkan krisis iklim, namun juga untuk menangguk keuntungan dengan terus mendorong pinjaman, skema penciptaan utang baru, dan selanjutnya membuat rakyat dan komunitas negara-negara berkembang semakin menderita.
Lebih lanjut, pendanaan iklim juga tidak mempertimbangkan kelompok-kelompok rentan yang terdampak serius akibat krisis iklim. Kelompok perempuan tidak hanya terdampak oleh krisis iklim tetapi juga oleh harus menanggung beban lebih berat dalam jebakan pemiskinan dan berbagai dampak yang diakibatkan pembiayaan iklim berbasis pasar, ataupun skema utang. Karenanya, meningkatkan ambisi pembiayaan iklim adalah komitmen yang harus dipenuhi dengan mendukung inisiatif-inisiatif berbasis komunitas, bukan melalui proyek yang tetap memfasilitasi kepentingan bisnis, dan justru berdampak pada hilangnya ruang hidup dan sumber-sumber kehidupan perempuan, ataupun menambah beban dengan skema utang.
Untuk itu, kami, organisasi masyarakat sipil di Indonesia sebagai gerakan, komunitas, dan organisasi masyarakat yang mengadvokasi dampak-dampak krisis iklim, transisi energi dan upaya reformasi arsitektur finansial global, percaya bahwa kebutuhan mendesak untuk meningkatkan pembangunan dan pendanaan iklim harus didasarkan pada hal-hal berikut:
- Negara-negara selatan untuk menolak terbentuknya ‘Pakta keuangan Global Baru” ini karena meniadakan dan melupakan kewajiban negara-negara Utara untuk membayar utang sejarah dan utang ekologi.
- Prancis seharusnya memimpin dalam pembatalan utang negara-negara berkembang yang tidak berkelanjutan dan tidak sah. Langkah ini sangat penting untuk membebaskan dana publik dari rantai utang dan memastikan adanya pembiayaan untuk pembangunan jangka panjang setelah pemulihan bencana dan krisis iklim pada negara-negara di selatan global.
- Prancis seharusnya mendorong negara-negara industri maju untuk memenuhi komitmennya untuk menyediakan pembiayaan iklim yang responsif, memadai, diperuntukan terutama untuk tindakan adaptasi dan loss and damages (kehilangan dan kerusakan) dan tidak menciptakan utang baru.
- Prancis seharusnya mempromosikan dan menjamin adanya dukungan pada infrastruktur energi bersih, berkeadilan dan berkelanjutan. Dukungan terhadap inisiasi energi yang bersih, berkeadilan dan berkelanjutan sangat penting dalam mewujudkan transisi energi di negara-negara selatan global.
- Prancis seharusnya mendukung Resolusi Pajak PBB yang baru sehingga distribusi pajak untuk rakyat menjadi yang lebih banyak bukan untuk memberikan subsidi pada investasi dan insentif pajak pada perusahaan.