“Hentikan Main-Main Tangani Krisis Iklim dan Ekspansi Bisnis Solusi Palsu Demi Keadilan Iklim”

Share on facebook
Share on twitter
Share on whatsapp
Share on email
Share on print

Rilis Media

Seiring berakhirnya Conference of the Parties (COP) 29, di Baku, Ibu Kota Azerbaijan, sejumlah keputusan telah diambil. Konferensi yang diperpanjang hingga mencapai 30 jam dari waktu yang dijadwalkan sebelumnya karena buntunya negosiasi antar para pihak. COP 29 akhirnya menetapkan keputusan, yang diantaranya; menetapkan pendanaan setidaknya $300 miliar (Rp4.755 triliun) per tahun untuk negara-negara berkembang hingga 2035, COP29 juga mencapai kesepakatan tentang aturan perdagangan kredit karbon, meneruskan pendanaan yang akan mendukung kegiatan-kegiatan REDD+, dan sebagainya.

Keputusan tersebut sebenarnya tidak memenuhi harapan negara-negara kepulauan kecil dan negara paling tidak berkembang. Mereka mengharapkan pendanaan yang lebih besar sebagai bagian dari “hutang iklim / sejarah” negara-negara maju. Namun pada akhirnya Presiden COP 29 mengetuk palu pengambilan keputusan tanpa meminta tanggapan dari sidang pleno. Setelah dia mengetuk palu setidaknya 3 negara berdiri untuk mengatakan bahwa mereka menolak kesepakatan tersebut, termasuk India. Maka sebenarnya Presiden COP 29 telah memaksakan “persetujuan” tersebut yang diduga berdasarkan instruksi atau perintah dari negara-negara maju seperti Amerika Serikat dan Negara Eropa maju, yang sejak awal ingin menurunkan jumlah pendanaan iklim bahkan ingin keluar dari kesepakatan Paris. Sejumlah NGO juga menyatakan sebelumnya ketika negosiasi terlihat buntu, mereka menekankan bahwa “Tidak ada kesepakatan di Baku (COP 29) lebih baik daripada kesepakatan yang buruk, dan ini adalah kesepakatan yang sangat, sangat buruk karena kerasnya negara-negara maju.”

Hasil COP 29 tersebut sebenarnya bukan tidak terprediksi. Sejumlah kalangan bahkan telah mengasumsikan dan memprediksikan pertemuan-pertemuan internasional seperti COP 29 seringkali hanya semacam itu hanyalah merupakan pertemuan yang membuang waktu dan menghasilkan serangkaian janji kosong  atau kesepakatan buruk untuk mengatasi krisis iklim. Pertemuan-pertemuan tersebut seringkali hanya berpretensi meneruskan sistem dan bisnis yang ada termasuk meneruskan investasi  proyek-proyek energi fosil dan solusi palsu lainnya.

Hal tersebut terungkap dalam diskusi yang digelar di kantor Aliansi Jurnalis Independen (AJI) yang bertajuk “Bahaya Ekspansi Proyek-Proyek Solusi Palsu Krisis Iklim dan Mitos Transisi Energi di Indonesia”, beberapa waktu yang lalu. Diskusi yang menghadirkan Koalisi Rakyat untuk Hak Atas Air (KRuHA),  jaringan kampanye “Don’t Gas Indonesia”, Lembaga Penerbitan Didaktika UNJ, Oil Change International, Aksi! for gender, social and ecological justice, serta media lingkungan Mongabay Indonesia  tersebut membahas bagaimana proyek mengatasi iklim seringkali tidak menyasar persoalan utama dari krisis iklim. Sigit Budiono dari KRUHA memaparkan bahwa proyek krisis iklim tidak tidak benar-benar berupaya mentransisikan perpindahan energi yang mendorong krisis iklim seperti energi fosil namun justru berupaya bisnis industri fosil dan solusi palsu krisis iklim dengan meningkatkan investasi pada proyek seperti gas, geothermal, bendungan besar, hingga REDD+, serta pasar karbon dll, di Indonesia.

Proyek-proyek energi fosil yang salah satunya adalah gas fosil terus didorong sebagai sumber energi transisi untuk menggantikan sumber energi seperti batu bara dan minyak. Walaupun berbagai penelitian mengonfirmasi bahwa gas dengan kandungan utama gas yaitu metana (CH4) adalah sumber energi yang berbahaya dan merusak iklim karena ia juga merupakan gas rumah kaca (GRK). Badan Perlindungan Lingkungan Amerika Serikat (US EPA) menyatakan Metana adalah GRK antropogenik terbesar kedua setelah karbon dioksida (CO2), terhitung sekitar 20 persen dari emisi global. Metana lebih dari kuat 25 kali lipat dari karbon dioksida dalam memerangkap panas di atmosfer. Selama dua abad terakhir, konsentrasi metana di atmosfer meningkat lebih dari dua kali lipat.

Pembangunan proyek-proyek fasilitas gas marak didorong secara luas. Salah satu proyek tersebut misalnya Independent Power Producer (IPP) Jawa-1 yang terdiri dari PLTGU 1.760 MW, penyimpanan gas terapung (Floating Storage and Regasification Unit / FSRU), pipa gas antara PLTGU dengan FSRU, dan jalur transmisi yang menyambungkan PLTGU dengan titik interkoneksi telah berdiri di wilayah muara Sungai Citarum, Cilamaya, Karawang. Hasil penelusuran investigasi Ezra Hanif dari LPM Didaktika menghasilkan laporan bahwa selain permasalahan terkait metana, proyek tersebut juga telah menimbulkan sejumlah masalah, mulai dari; membatasi / menggusur nelayan dari wilayah tangkapnya, mengganggu keseimbangan ekosistem yang ada, termasuk 13 spesies fauna yang dilindungi, berpotensi menimbulkan permasalahan kesehatan bagi warga sekitar, menggusur wilayah pertanian rakyat di Karawang, hingga dugaan penghancuran situs yang ditengarai sebagai situs sejarah yang berada di wilayah pembangunan proyek PLTGU.

Sementara di wilayah hulu, proyek-proyek eksplorasi hingga eksploitasi gas juga terus diperluas. Perluasan investasi seperti pada proyek ladang gas Tangguh dengan perusahaan seperti British Petroleum, Proyek gas Masela, Proyek Indonesia Deepwater Development, dsb., marak dikembangkan. Seiring dengan itu, janji kesejahteraan juga diluncurkan industri gas untuk masyarakat sekitar. Namun, yang terjadi nampaknya tak seperti yang dijanjikan. Kesejahteraan yang diharapkan dan dijanjikan kepada masyarakat sekitar pun tak kunjung terealisasi. Sementara itu, krisis sosial-ekologis justru yang mengemuka. Kerusakan lingkungan di wilayah sekitar operasi gas Tangguh, masyarakat merasakan kehilangan penghidupan, hingga penggusuran. Riska Darmawanti dari Jaringan Kampanye DGI dalam presentasinya menunjukkan sebagaimana termuat dalam buletin edisi 3 DGI proyek gas di Lapindo telah menjadi monumen krisis sosial ekologis di Sidoarjo dimana betapa merusaknya proyek-proyek tersebut. Setelah kehilangan rumah dan sumber penghidupannya, kini warga sekitar yang masih bertahan terancan kesehatannya akibat pencemaran logam berat pada sumber air mereka.

Namun, proyek gas fosil hanyalah satu dari sekian banyak solusi palsu dari proyek penanganan krisis iklim. Proyek hydropower dengan bendungan besar, geothermal, hingga proyek-proyek carbon storage dan lain sebagainya, diakselarasi untuk terus mengembangkan Business as usual pada industri energi. Hikmat Soeriatanuwijaya, perwakilan dari Oil Change International, memaparkan bahwa Jepang, negara industri yang memiliki banyak proyek energi fosil, terus menawarkan bisnis dan proyek solusi palsu seperti CCS-CCUS untuk memperpanjang bisnis energi fosil dari batubara hingga gas. Sementara, warga kampung di mana proyek-proyek tersebut berada, terus menanggung krisis lingkungan dan dampak-dampak lainnya. Hal tersebut sejalan dengan temuan-temuan media Mongabay Indonesia. Sapariah Saturi memaparkan konflik horisontal akibat pembelahan warga oleh industri, pencemaran udara, air, tanah akibat limbah dari proyek-proyek tersebut, hingga penggusuran sumber penghidupan dan tempat tinggal adalah hal yang jamak ditemui seiring membesarnya program penanganan krisis iklim.

Sementara itu, Titi Soentoro dari Aksi! for gender, social and ecological justice memaparkan bahwa seringkali proyek-proyek pendanaan krisis iklim tidak berakibat semakin membaiknya lingkungan. Pada satu sisi, bahwa dana iklim untuk negara berkembang perlu ditingkatkan dan tetap menjadi tanggung jawab historis negara industri maju. Namun di lain pihak kita menghadapi realita bahwa pendanaan iklim lewat Green Climate Fund (GCF) misalnya justru dinikmati oleh Lembaga Keuangan Internasional (LKI) seperti Bank Dunia, ADB, GIZ, dan lainnya yang mengatur solusi iklim palsu untuk kepentingan investasi negara industri maju itu sendiri, dan malah makin membebankan rakyat negara berkembang yang sedang mengalami krisis iklim.

Diskusi tersebut diselenggarakan diantaranya guna mendesak pemerintah untuk segera melakukan aksi nyata dalam penanganan krisis iklim. Proyek-proyek investasi energi transisi palsu seperti  gas fosil dan solusi palsu lainnya.

Sementara itu dalam kesempatan yang lain, jaringan Don’t Gas Indonesia juga melakukan aksi beberapa waktu lalu di Karawang. Aksi yang bertajuk “Don’t Gas The South, Don’t Gas The Globe” tersebut menuntut penghentian investasi proyek-proyek gas di Indonesia, termasuk di Karawang. Yudha, salah satu perwakilan komunitas Masyarakat Karawang Bersatu menyampaikan, instalasi pipa gas mengakibatkan penurunan kualitas air laut dan pendangkalan, yang pada gilirannya memaksa nelayan untuk berlayar lebih jauh dengan biaya operasional lebih tinggi. Ia juga mengatakan, kondisi ini tidak hanya mengancam keberlanjutan lingkungan pesisir, tetapi juga menggerus perekonomian lokal yang bergantung pada sumber daya alam laut. “Lebih parah lagi, belum ada skema kompensasi memadai untuk menggantikan hilangnya lahan dan akses yang dinikmati komunitas nelayan dan petani,” ungkapnya.

Aksi tersebut juga menekankan bahwa ekspansi gas di bagian Selatan Global, seperti di Jawa Barat, adalah cermin dari ketidakadilan iklim yang semakin memperburuk ketimpangan struktural antara negara-negara penghasil emisi rendah di Selatan dan konsumen energi tinggi di Utara. Alih-alih mendorong transisi energi yang berkeadilan, proyek-proyek seperti ini malah memperdalam ketergantungan pada sumber energi berkarbon tinggi yang merugikan komunitas lokal sekaligus mengancam keberlanjutan lingkungan global.

 

Narahubung:

 

Sigit Budiono – Koalisi Rakyat untuk Hak Atas Air / KRuHA (081318835393)

Informasi Lainnya :