Hari Pangan Dunia : Legalisasi Komodifikasi Pangan Mengancam Masa Depan

Share on facebook
Share on twitter
Share on whatsapp
Share on email
Share on print

Rilis Bersama
Manikaya Kauci, KRuHA, GRAIN, IRGSC, SMI, SNI, FOSNU Problinggo, FPPI

Hari Pangan Dunia
“Legalisasi Komodifikasi Pangan Mengancam Masa Depan ”

Pada Hari Pangan Dunia (World Food Day) 16 Oktober ini, tema yang diangkat di seluruh dunia untuk tahun 2019 adalah “Aksi Kita untuk Masa Depan. Pangan yang sehat untuk menghapuskan kelaparan”. Bukan tema yang mudah, mengingat hingga tahun ini, data menujukkan kelaparan dan malnutrisi tidak mengalami pengurangan secara signifikan. Dunia mencatat, lebih dari 821 juta orang menderita kelaparan. Sementara disisi lain lebih dari 670 juta orang dewasa dan 120 juta anak perempuan dan laki-laki (usia 5-19 tahun) mengalami obesitas, dan lebih dari 40 juta anak di bawah 5 tahun kelebihan berat badan.

Pola produksi dan penyediaan pangan menjadi salah satu penyebab hal tersebut. Laporan Pelapor Khusus Hak Atas pangan PBB, Olivier De Schutter (2008), mencatat bahwa upaya peningkatan produksi pangan tanpa menimbang mekanisme penyediaan dan pemenuhan pangan tidak akan banyak mengatasi persoalan pangan. Permasalahan over konsumsi hingga ketiadaan kemampuan membeli dari kalangan paling bawah, termasuk kalangan penyedia pangan skala rumah tangga itu sendiri, menjadi pokok-pokok permasalahan yang perlu dilihat secara jelas.

Indonesia, sebagai salah satu Negara dengan kekayaan sumber daya alam yang mendukung penyediaan pangan secara mandiri juga tidak luput dari persoalan ketiadaan akses terhadap pangan. Beberapa kasus malnutrisi hingga kelaparan kerap menghiasi wacana nasional. Bahkan tahun 2018, Indonesia berada pada level yang serius terkait persoalan pangan. Catatan Global Hunger Index 2018, Indonesia berada di peringkat 73 dunia terkait persoalan kelaparan. Indonesia di tingkat Asia Tenggara hanya menempati posisi di atas Kamboja dan Laos, jauh di bawah Thailand, Malaysia ataupun Vietnam.

Penurunan akses pangan salah satunya diakibatkan oleh persoalan air dan kehilangan keanekaragaman pangan. Tahun 2019 berbagai indikasi menyatakan bahwa akan terjadi penurunan produksi pangan. Luas panen diperkirakan minimum akan menurun hingga di atas 500 ribu hektare dibanding pada 2018. Penurunan tersebut disebabkan karena mundurnya musim tanam akibat ketiadaan dan kekurangan air oleh karena situasi musim maupun ketiadaan akses irigasi yang memadai. Sehingga penurunan produksi beras diperkirakan akan mencapai lebih dari dua juta ton, sementara ketergantungan pangan atas beras terus meningkat karena semakin rendahnya sumber pangan pokok lainnya.

Hak atas pangan, bersama hak atas air, keduanya sebagai pasangan yang tak terpisahkan, telah ditatapkan sebagai hak asasi yang melindungi seseorang atas pangan, mendapatkan pangan layak, akses atas pangan, dan memenuhi kebutuhan, serta melindungi hak seluruh manusia untuk bebas dari kelaparan, ketidakamanan pangan dan malnutrisi. Sehingga seluruh entitas dalam Negara-negara pihak yang telah meratifikasinya berkewajiban baik melalui upaya-upaya hukum masyarakat maupun dalam tradisi (konvensi) ketatanegaraan Indonesia untuk mengupayakan hal tersebut.

KRuHA dalam Laporan Kajian Hak Atas Air (2016) mencatat bahwa orientasi konsumsi atas air terutama akan tumbuh bersama dengan pertumbuhan industri dan perkebunan-perkebunan besar. Konsumsi rumah tangga dan pertanian akan sampai pada titik mengecil dibandingkan dengan pertumbuhan industri ini. Industri mengambil pola ekstraktif yang mengambil untung dari lemahnya pelaksanaan putusan Mahkamah Konstitusi mengenai air, dan juga terus memperburuk bentuk dan ekosistem alam yang sesungguhnya penting bagi keberlanjutan air dan hak atas air.

Di wilayah perkotaan, kualitas air dan hak-hak warga dibatasi pada alasan-alasan “cakupan” saja. Pemerintah melakukan outsourcing tugas dan kewajiban konstitusinya pada korporasi. Pola outsourcing ini juga terjadi di pertumbuhan kota-kota baru. Air kemasan, dan juga pangan kemasan seolah dianggap solusi utama kehidupan masyarakat perkotaan. Solusi palsu ini sekaligus mempertinggi bukaan lahan dan sumber daya alam baru yang menghasilkan kerusakan lingkungan dan konflik horisontal. Dan, tetap saja pemerintah melakukan pola outsourcing ini.

Dalam hal regulasi, pengesahan Undang-Undang Sistem Budidaya Pertanian berkelanjutan (SBPB) tepat pada peringatan Hari Tani Nasional pada 24 September lalu juga menjadi bukti nyata bahwa Negara secara umum belum berpihak kepada petani, terutama petani kecil sebagai entitas utama penyedia pangan nasional. Sekaligus semakin menghilangkan keaneka ragaman pangan lokal yang selama ini dipelihara dan dikembangkan para petani. Sejumlah pasal kontroversial dalam UU tersebut, justru berpotensi semakin mengerdilkan petani, mengkriminalisasi dan menyediakan karpet merah bagi pengendalian dan penguasaan benih oleh korporasi pertanian. Pasal lain bahkan seolah membuka pintu bagi pelepasan benih-benih hasil rekayasa genetik yang dapat memperparah kerusakan ekosistem pertanian serta membahayakan kesehatan rakyat secara luas. Negara secara nyata telah mengingkari putusan-putusan penting Nomor 99/PUU-X/2012 terkait Pengujian Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1992 tentang Sistem Budidaya Tanaman.

Saat ini pemerintah lewat politik regulasi pangan (UU SBPB dan UU Sumber Daya Air 2019) justru menghalangi pemenuhan hak atas pangan (air) yang sehat yang sejatinya bertujuan menghapus kelaparan dan gizi buruk di Indonesia. Pada peringatan Hari Pangan Sedunia kali ini gerakan warga negara harus bahu membahu memaksa pemerintah bertanggung jawab atas pemenuhan hak atas air dan hak pangan rakyat Indonesia serta melindungi petani kecil sebagai produsen pangan utama negeri ini.

Kontak Person:
Sigit: 081318835393 (KRuHA)
Kartini: +62 813-1476-1305 (GRAIN)
Sira Arya Gana: +62 812-3934-2580 (Manikaya Kauci)

Informasi Lainnya :