Ketika GTZ Melakukan Penyesatan Terhadap Hak Atas Air; Menyesatkan -Penyesat- Hak Atas Air

Share on facebook
Share on twitter
Share on whatsapp
Share on email
Share on print

Benny D. Setianto-Pengajar di Fakultas Hukum UNIKA Soegijapranata Semarang

Bulan Desember 2009, GTZ dan Kementerian Kerjasama Ekonomi dan Pembangunan Negara Jerman menerbitkan buku putih tentang bagaimana menterjemahkan Hak atas Air dari konsep menuju praktek lapangannya (http://www.gtz.de/de/dokumente/gtz2009-human-right-to-water-and-sanitation.pdf).Pada bagian awal disebutkan bahwa ada beberapa kesalahan mendasar yang dianut oleh para pejuang hak atas air ketika memperjuangkan hak tersebut sehingga perlu diluruskan. Dengan kata lain, buku tersebut bertujuan antara lain ‘meluruskan’ sesat pikir yang dialami oleh para pejuang hak atas air. Tulisan ini akan membahas apakah tuduhan GTZ dan Jerman benar? Dan alasan apakah yang mendasari munculnya tuduhan tersebut? Hal ini perlu menjadi bahan kajian yang cukup serius agar, jangan sampai buku putih yang hendak meluruskan para pejuang hak yang tersesat itu (menurut versi mereka) bukan merupakan penyesatan hak atas air itu sendiri. Setidak-tidaknya ada 5 (lima) hal yang diperjuangkan oleh pejuang hak atas air yang menurut mereka keliru (misunderstanding).

1. Hak atas Air Punya Implikasi bahwa Penyediaan Air Harus Gratis/Bebas Biaya

Ketika wacana hak atas air mulai dimunculkan untuk ‘melawan’ hak guna air, maka gagasan dasar yang ingin ditampilkan bukanlah perkara gratis atau bayar semata karena kalau itu yang dipersoalkan maka seoalah-olah mereka yang menawarkan konsepsi hak atas air masih tetap terjebak kepada air sebagai barang ekonomi. Mengajak perdebatan kearah gratis atau bayar saja telah menyesatkan esensi perbedaan utama dari hak atas air dan hak guna air. Sayangnya memang ada beberapa aktivis hak atas air yang juga larut dalam perdebatan itu. Guna menjawab perdebatan semacam itu maka, sebaiknya dibalikkan lagi kepada pemahaman terhadap hak atas air dan sifat-sifat air. Implikasi pengakuan akan adanya hak atas air adalah memberikan tugas kepada Negara untuk menyelenggarakan mekanisme sedemikian rupa sehingga akses masyarakat terhadap air dapat tersedia. Mekanisme ini harus diatur sehingga tidak memberikan peluang kepada Negara untuk mengalihkan tanggungjawabnya kepada pihak-pihak lain.

Konsekuensinya, tidak berarti bahwa setiap orang harus mendapatkan air secara gratis tanpa ada batasan jumlah penggunaan, yang akan memunculkan kemungkinan bagi mereka yang kuat untuk mendapatkan sumber daya air lebih banyak tetapi justru pengakuan hak atas air ini memberikan kesempatan kepada Negara untuk melakukan pengaturan akan pembatasan-pembatasan tertentu kepada orang atau sekelompok orang tertentu demi memastikan bahwa hak atas air tiap-tiap orang harus tetap terpenuhi. Dengan kata lain, Negara tidak bisa membiarkan pelaku bisnis misalnya karena kekuatannya ekonominya kemudian menguasai sumber daya air yang dapat dibelinya untuk dimanfaatkan bagi kepentingan bisnisnya semata. Peran Negara justru memastikan bahwa air tersedia secara cukup bagi kebutuhan minimal sehari-hari. Tindakan Negara untuk membiarkan bahkan memfasilitasi dengan perlindungan hukum tertentu bagi sekelompok bisnis untuk menguasai sumber daya air sementara masih banyak warganya yang belum mendapatkan air bagi kebutuhan minimal sehari-hari merupakan pelanggaran.

Jadi, penyediaan secara gratis dalam jumlah tertentu bagi masyarakat perlu dilakukan sebagai bukti nyata pengakuan Negara atas hak atas air, dan pada saat yang bersamaan hal itu juga mengimplikasikan pembatasan kepemilikan sumber daya air agar tidak mengurangi ‘kemampuan’ Negara untuk menyediakan air bagi warganya, paling tidak untuk mencukupi kebutuhan minimal sehari-hari. Sehingga penyediaan secara gratis harus dipahami sebagaimana diuraikan di atas dan bukan sekedar gratis saja. Memotong pemahaman hanya sampai kata gratis saja tanpa menambahi dengan jumlah tertentu dan sekaligus pembatasan kepemilikan sumber daya air sangat menyesatkan, seolah-olah justru nantinya memberikan kesempatan kepada mereka yang mampu menguasai sumber daya air untuk segera mengambil dan menguasainya. Sekali lagi problemnya bukan pada implikasi air harus disediakan gratis atau tidak tetapi bahwa Negara memiliki kewajiban untuk tidak saja penyediaan air bagi kebutuhan minimal sebagai tugas utamanya dalam pemenuhan hak atas air tetapi juga pembatasan bagi kepemilikan sumber daya air yang berimplikasi terhadap penurunan kemampuan Negara untuk menyediakan pemenuhan hak atas air tersebut.

2. Negara Melakukan Pelanggaran Terhadap Hak Atas Air Jika Setiap Orang Tidak Memiliki Akses Terhadap Ketersediaan Air dengan Biaya Terjangkau dan Kualitas yang Dapat Diterima

GTZ menganggap bahwa sepanjang Negara sudah melakukan langkah-langkah yang nyata untuk mencoba memenuhi hak atas air tersebut maka Negara sudah memenuhi kewajibannya dalam pengakuan hak atas air. Penyesatan yang mirip dengan point pertama terjadi juga di sini. Hak atas air, sebagaimana hak-hak asasi manusia lainnya, menyiratkan adanya tanggungjawab dari Negara untuk memenuhinya. Untuk itu, problemnya bukan kepada keserta-mertaan bagi setiap warga Negara untuk dapat memperoleh air tetapi lebih kepada adanya mekanisme yang tegas dan jelas bagimana Negara akan melakukan upaya-upaya bagi ketersediaan air dan terutama langkah-langkah untuk menjamin akses tersebut.

Jika Negara menerbitkan peraturan perundang-undangan bagi pengakuan hak atas air, itu baik, tetapi tidak cukup. Peraturan perundang-undangan itu harus diikuti dengan langkah-langkah kebijakan yang semakin jelas bagaimana jaminan akan akses itu dilakukan. Misalnya, akan sangat tidak berarti jika Negara menerbitkan peraturan yang mengakui hak atas air tetapi di sisi lain juga mengeluarkan peraturan yang memungkinkan individu-individu bebas memiliki hak atas sumber daya air tanpa adanya pembatasan-pembatasan apapun bagi kepemilikannya. Jika itu yang terjadi maka Negara tetap bisa dikatakan telah melakukan pelanggaran terhadap hak atas air. Dengan kata lain, jaminan akan akses tidak cukup hanya dengan menerbitkan peraturan ketersediaan air secara cukup bagi semua orang tetapi harus diikuti dengan kebijakan untuk memenuhinya termasuk pelarangan atau pembatasan penguasaan sumber daya air individu tersebut. Tanpa itu, Negara belum bisa dikatakan telah menjamin adanya akses terhadap air.

3. Hak Atas Air Mensyaratkan Penyediaan Air Harus Dilakukan oleh Lembaga yang Dimiliki Negara

Yang harus diperhatikan dalam menyikapi hal ini adalah, siapapun penyedia airnya, hak atas air memberikan mandat bahwa penyedia air harus dianggap sebagai lembaga kepanjang-tanganan Negara. Dengan bahasa yang berbeda, penyedia air haruslah lembaga yang memiliki sifat dan karakteristik lembaga publik sama seperti lembaga-lembaga publik milik Negara lainnya. Beberapa konsekuensi yang bisa disebutkan jika lembaga penyedia air dilihat sebagai lembaga publik antara lain adalah: (a) lembaga tersebut terikat kepada prinsip-prinsip keterbukaan informasi sebagaimana lembaga publik lainnya. Maka tidak ada alasan bagi lembaga penyedia air untuk tidak membuka dokumen yang dimilikinya dengan alasan bahwa itu adalah rahasia perusahaan. Sebagai lembaga publik maka akses informasi terhadap dokumen yang dimilikinya menjadi kewajiban yang harus dipenuhi juga. (b) lembaga penyedia air juga harus bisa dikontrol melalui berbagai mekanisme publik yang ada. Wakil rakyat memiliki kewenangan untuk memeriksa dan mengawasi jalannya lembaga penyedia air ini. Demikian halnya juga dengan misalnya kebijakan untuk menaikkan tariff dan atau nilai keuntungan yang diharapkan. (c) lembaga penyedia air juga memiliki kewajiban untuk menjalankan kegiatannya sebagai pemenuhan hak atas air yang menjadi tanggungjawab Negara. Dengan keterikatan semacam itulah maka pengelolaan lembaga penyedia air harus dijalankan.

Jika saja ketentuan-ketentuan yang harus dipenuhi sebagai lembaga public harus dijalankan secara konsisten maka, perusahaan swasta akan berpikir lagi untuk terlibat di dalam penyediaan air sebagai konsekuensi pemenuhan hak atas air. Misalnya, kontrak-kontrak yang akan ditandatangani harus bisa diakses oleh publik, pelaksanaan penyelenggaraan pemenuhan hak atas air yang dilakukan oleh swasta harus dilaporkan secara berkala kepada lembaga Negara. Keuntungan yang diambil atau direncanakan akan diambil oleh perusahaan penyedia air tersebut harus bisa dibatasi oleh lembaga publik lain, terutama ketika Negara masih menetapkan terjadinya subsidi terhadap tariff air yang ada.

Jadi problem utamanya lebih kepada, pelibatan pihak swasta sebagai penyedia air tidaklah menghapuskan tanggungjawab pemerintah untuk memenuhi hak atas air yang dimiliki oleh rakyatnya. Kedua, seringkali dalam pelibatan swasta sebagai penyedia air, konsekuensi logis dari pelaksana tanggungjawab Negara akan dihilangkan begitu saja, atas nama rahasia perusahaan. Hal ini kemudian menyebabkan akses masyarakat terhadap perusahaan penyedia air menjadi tertutup. Yang lebih memperparah adalah, karena ketertutupan atas nama rahasia perusahaan itu telah menyebabkan kontrak-kontrak yang ditandatangani bagi keterlibatan pihak swasta menjadi sangat berat sebelah sehingga menguntungkan perusahaan swastanya.  Inilah yang kemudian menyebabkan para pejuang hak asasi manusia menolak pelibatan swasta yang demikian.

4. Hak Atas Air tidak Dapat Dipenuhi jika tidak Tersedia Cukup Air untuk Semua Orang

Penyesatan dalam pernyataan itu adalah bahwa seolah-olah kelangkaan air itulah yang membuat ada sebagian masyarakat yang tidak mendapatkan air, bahkan untuk mencukupi kebutuhan hidup sehari-hari saja. Sehingga menyalahkan Negara tidak dapat memenuhi hak atas air karena kelangkaan air adalah salah. Kenyataannya, seringkali persoalan tidak mendapatnya sebagian masyarakat bukan karena ketiadaan air tetapi lebih kepada keinginan untuk memberikan akses tersebut yang tidak pernah dijadikan kebijakan yang diutamakan.

Misalnya, PDAM memiliki keengganan untuk menambah pelanggan baru yang hanya akan menggunakan air dalam batas minimum penggunaan karena nilai investasi sambungan baru tidak sebanding dengan tambahan pendapatan yang akan dimunculkan. Memelihara pelanggan lama dengan jumlah pemakaian yang besar dinilai lebih menguntungkan. Atau, sambungan baru lebih diutamakan kepada calon pelanggan yang dinilai akan memanfaatkan air melebih batas minimum yang ditetapkan. Mekanisme pemilihan pelayanan inilah yang merupakan pelanggaran terhadap hak atas air tersebut.

5. Pendekatan Praktis yang Dapat Dilakukan adalah Membiarkan Penyedia Jasa Informal untuk Melayani Kebutuhan Air.

Para pejuang hak atas air tidak memberikan preferensi bagi tumbuhnya penyedia air-penyedia air informal yang sering muncul di daerah perkotaan karena ketiadaan layanan air bersih yang dilakukan penyedia air dengan pipa. Tanggungjawab negaralah yang dituntut untuk memberikan dan menjamin ketersediaan air bagi warganya. Fenomena penyedia air informal dalam skala-skala tertentu merupakan kenyataan yang sekalipun tidak diinginkan tetapi tetap harus diakui keberadaannya senyampang pemerintah (baca Negara) belum mampu melayani pemenuhan hak atas air.

Persoalannya justru kembali kepada point ketiga, kenyataan bahwa Negara dengan gampang kemudian mengalihkan tanggungjawabnya kepada perusahaan swasta skala besar untuk menggantikannya merupakan pelanggaran tidak saja hak atas air tetapi juga hak-hak asasi lainnya.

Catatan Akhir

Melihat pernyataan-pernyataan yang dirilis oleh GTZ dan pemerintah Jerman, dapat disimpulkan bahwa kecenderungan untuk melihat air menjadi salah satu komoditi yang dapat diperdagangkan lebih kuat daripada melihat air sebagai sesuatu yang dibutuhkan untuk memenuhi tanggungjawab Negara bagi penyelenggaran kehidupan bersama. Akibatnya, tuduhan-tuduhan yang disebut mereka sebagai misunderstanding tentang hak atas air justru sebenarnya menjadi upaya penyesatan mereka terhadap isu-isu utama yang diperjuangkan.

Kehati-hatian untuk mencermati pembelokan arah perdebatan inilah yang harus diperhatikan agar para aktivis hak atas air tidak terjebak untuk menarik di atas tabuhan genderang perusahaan swasta. Selamat Berjuang !!!

Informasi Lainnya :