Privatisasi PAM Jaya: Studi Kasus di Jakarta Bagian Timur, Indonesia

Share on facebook
Share on twitter
Share on whatsapp
Share on email
Share on print

Oleh : Nur Endah Shofiani*

Pada penghujung tahun 1994, hanya 36 persen dari 67 juta jiwa penduduk kota Indonesia yang memiliki akses ke air bersih. Diperlukan modal yang besar untuk diinvestasikan di sektor air. Oleh karenanya, untuk menarik minat investasi swasta, pemerintah Indonesia (GoI) memulai perubahan (transformasi) PDAM menjadi industri pelayanan yangberorientasi pelanggan dan menetapkan biaya pelayanan air yang didasarkan pada prinsip barang ekonomi dengan memperkenalkan konsep pemulihan biaya penuh (full cost recovery) dan bukan didasarkan pada konsep sosio-politik yang memperlakukan air sebagai barang publik.
Laporan dari JICA menyebutkan bahwa PAM Jaya mengalami masalah teknis dan organisasi yang serius. Berkaitan dengan masalah teknis, total kapasitas produksi PAM Jaya pada tahun 1997 adalah 498 juta m3 tapi hanya 47 persen yang didistribusikan ke konsumen. Tingkat kebocoran air (non revenue water) adalah 53 persen yang disebabkan oleh kebocoran pada sistem distribusi, penggunaan secara ilegal dan kesalahan pada penagihan (billing error). Pada tahun 1995, PAM Jaya hanya mampu melayani 39 persen dari penduduk, yang meliputi 426.735 sambungan rumah. Sementara itu, warga lainnya masih menggunakan air tanah sebagai sumber air minum. Untuk memperbaiki pelayanan, GoI mengundang dua perusahaan swasta, RWE Thames Water dan Suez-Lyonnaise untuk berpartisipasi dalam suplai air minum Jakarta. Dua mitra swasta tersebut diharapkan mengenalkan sistem manajemen professional dan meningkatkan efisiensi, yang akan menguntungkan konsumen.

Kemitraan Swasta Umum pada Suplai Air Minum Jakarta
Seusai Keputusan Presiden Republik Indonesia pada tanggal 5 Juni 1995 dan Keputusan berikutnya oleh Menteri Pekerjaan Umum, suplai air Jakarta dibagi dalam dua daerah konsesi, Timur Jakarta (zona II, III dan VI) dan Barat Jakarta (zona I, IV dan V), dengan Sungai Ciliwung sebagai batasnya (Gambar 1). PT Thames PAM Jaya (TPJ) sebagai suatu konsorsium dari RWE Thames Water bertanggung jawab atas daerah Timur Jakarta dan PT PAM Lyonnaise Jaya (Palyja) bertanggung jawab atas daerah Barat. Nota Kesepahaman (MoU) ditandatangani pada tanggal 6 Oktober 1995, dan kontrak akhirnya ditandatangani secara resmi pada tanggal 6 Juni 1997 yang berlaku efektif mulai tanggal 1 Februari 1998. Namun,karena krisis politik dan ekonomi terjadi bersamaan dengan masa dimulainya perjanjian, implementasikterlibatan swasta agak terhambat. Ada beberapa ketetapan tidak bisa dicapai, terutama asumsi finansial yang telah diproyeksikan. Oleh karenanya pada tanggal 1 Juni 1998, semua pihak sepakat untuk kembali merundingkan kontrak kemitraan tersebut. Dua komponen paling penting kembali dikaji; tarif air dan target teknis. Perjanjian kerjasama yang diamandemen tersebut akhirnya secara resmi ditandatangani oleh Gubernur DKI Jakarta pada tanggal 22 Oktober 2001. Baru-baru ini, bulan Juni 2005, kedua perusahaan swasta dan PAM Jaya kembali mengamandemen kontrak tersebut dan sepakat melakukan penghitungan ulang untuk imbalan/biaya air (water charge), biaya bantuan teknis dan implementasi kenaikan tarif otomatis sebagaimana yang disetujui oleh DPRD DKI Jakarta.

Mengimplementasikan Suplai Air Swasta
Menurut Beecher (1997) dan Gleick dkk (2002) , keuntungan dari privatisasi hanya mungkin dicapai jika disertai dengan peraturan yang terpadu, proses penawaran yang kompetitif, pengukuran/penilaian kinerja (performance review) , mekanisme penyelesaian konflik dan juru runding kontrak yang ulung. Dalam  kasus Jakarta , yang terjadi malah kebalikannya: (1) tidak ada kerangka peraturan sebagai basis untuk PPP (Kemitraan Publik-Swasta) ketika gagasan memprivatisasi air Jakarta pertama kali muncul pada tahun 1995; (2) dua konsorsium yang ditugaskan melalui penunjukkan langsung dikendalikan oleh kepentingan politis kelompok, dan konsultasi umum atau proses penawaran juga tidak dilakukan dalam memilih pemegang konsesi; (3) mitra-mitra swasta tersebut lihai dalam menegosiasikan syarat-syarat kontrak yang menguntungkan mereka sebagaimana terbukti melalui amandemen perjanjian kontrak asli pada tahun 2001 dan 2005 dimana banyak dari target yang ditetapkan lebih rendah dari yang asli; dan (4) tidak ada badan regulasi untuk memantau kontrak tersebut dan menengahi setiap perselisihan pada saat perjanjian kerjasama yang pertama; Badan Regulasi baru dibentuk pada tahun 2001. Misi Badan Regulasi adalah untuk menyeimbangkan kepentingan-kepentingan sektor swasta dan publik. Jika bekerja secara benar badan tersebut semestinya memainkan peran penting dalam mengawasi implementasi kontrak, memfasilitasi penyelesaian konflik antara berbagai pihak, menyesuaikan tarif, mengkoordinasikan lembaga-lembaga publik lainnya dan memantau kinerja mitra-mitra swasta. Tapi bagaimanapun, Badan Regulasi tersebut memiliki wewenang yang sangat terbatas dan sebagian besar dihadapkan dengan persoalan-persoalan teknis.

Imbalan/Biaya Air, Tarif Air dan Tariff Defisit (Tariff Shortfall)
Pada kasus Jakarta ada dua konsep berbeda mengenai imbalan/biaya air dan tarif air  yang diterapkan. Investor swasta diberikan kompensasi melalui imbalan/biaya air yang mengimplikasikan bahwa pemerintah sepenuhnya menjamin setiap kerugian perusahaan swasta. Tarif air ditentukan berdasarkan pada prinsip-prinsip subsidi silang antara masyarakat berpenghasilan tinggi dan rendah dan tarif progresif atau sistem tarif blok (block tariff system). Imbalan/biaya air dinaikkan dari waktu ke waktu. Dalam perjanjian kontrak asli, imbalan/biaya air ditetapkan pada harga Rp. 1.303 per meter kubik air sementara tarif air pada harga Rp.970 per meter kubik air. Pada bulan Juli 2005, imbalan/biaya air di-set kembali pada harga Rp. 4.450 per meter kubik dan tariff air rata-rata dinaikkan menjadi Rp. 5.473 per meter kubik. Gambar 2 mengilustrasikan kesenjangan antara imbalan/biaya air dengan tarif air.

Hutang PAM Jaya kepada perusahaan-perusahaan swasta kini semakin meningkat sejak tidak ada lagi sumber pendapatan alternatif setelah semua operasinya diambil oleh perusahaan swasta. Pada tahun 2005, PAM Jaya harus menutupi penghasilan defisit (revenue shortfall) kepada sektor swasta senilai Rp. 800 miliar. PAM Jaya sebagai organisasi pelaksana kini percaya bahwa privatisasi telah menjadi semakin mahal.

Pencapaian Target
Pencapaian sektor swasta hanya dapat diamati dengan membandingkan realisasi aktual dengan parameter yang telah diakui: target teknis dan standar pelayanan. Kegagalan untuk mencapai target bisa menyebabkan perusahaan swasta terkena sangsi, hukuman dan bahkan lebih jauh lagi, pengakhiran/pemutusan kontrak. Diantara lima target teknis, hanya volume air yang dikenakan tagihan yang bersifat mengikat. Kegagalan untuk mencapai 70 persen dari volume yang ditargetkan bisa menyebabkan terjadinya pengakhiran/pemutusan kontrak. Pada tahun 2002, TPJ telah mampu memenuhi 98 hingga 110 persen dari target yang tertuang dalam perjanjian kontrak yang baru. Namun dibandingkan dengan target semula, TPJ hanya memenuhi target 69 hingga 94 persen. Gambar 3 menggambarkan pencapaian target teknis pada tahun 2002 menurut standar tahun 1997 dan 2001 di Jakarta Timur.

Privatisasi Air Jakarta, Langkah-langkah Selanjutnya: Sebuah Rekomendasi
Delapan tahun sudah berlalu sejak dua kontrak konsesi ditandatangani oleh PAM Jaya, TPJ dan Palyja. Pencapaian keseluruhan dari mitra-mitra swasta jauh dari memuaskan. Pengakhiran kontrak atau resiko sengketa hukum pada akhirnya akan sangat mahal harganya. Lagipula, PAM Jaya wajib membayar tarif defisit (tariff shortfall) ke perusahaan-perusahaan swasta. Hal ini mengkhawatirkan karena ketika masa konsesi berakhir, PAM Jaya tidak akan lagi mempunyai asset karena itu semua akan digunakan untuk membayar hutanghutang yang sudah menumpuk. Adalah bersifat urgen bagi PAM Jaya dan Pemerintah Daerah Jakarta untuk mengambil langkah-langkah penting guna mencegah terjadinya kejatuhan ekonomi (economic downfall). Satu solusi yang mungkin adalah mendirikan badan independen yang bekerja tanpa campur tangan dari pihak yang berkuasa dan jauh dari pengaruh politis apapun. Badan tersebut harus bekerja hanya untuk melindungi kepentingan konsumen dan masyarakat, menjamin akses yang sama dan aman terhadap air untuk seluruh warga, terlepas dari status social dan ekonomi mereka. Badan independen ini seharusnya meyakinkan mitra-mitra swasta untuk terus mengupayakan implementasi yang tepat atas kontrak tersebut. Target teknis dan standar layanan seharusnya direalisasikan secara ketat. Mekanisme Hukuman dan Penghargaan (Punishment and Award) semestinya dipertimbangkan sebagai suatu sarana yang efektif bagi mitra-mitra swasta untuk meningkatkan kinerja mereka. Jika privatisasi di Jakarta mesti dilanjutkan sebagai suatu pilihan yang berkelanjutan, adalah penting untuk meningkatkan peran dari para penanam saham (stakeholde) lainnya. Kegagalan dalam mengimplementasikan partisipasi publik, dapat menyebabkan pelayanan yang tidak efektif, diskriminasi atas kelompok yang tidak memiliki hak-hak istimewa dan pelanggaranpelanggaran berkenaan dengan air bersih. Mesti lebih banyak lagi upaya dilakukan guna memberikan pedoman mengenai partisipasi publik, akses publik terhadap informasi, pemantauan dan keterbukaan (transparansi).

*) Department of Land and Water Resource Engineering, Royal Institute of Technology (KTH) Stockholm, SWEDEN.

Informasi Lainnya :