Uji Materiil Atas Berlakunya Peraturan Gubernur No. 16 Tahun 2020 Tentang Penyambungan dan Pemakaian Air Minum

Share on facebook
Share on twitter
Share on whatsapp
Share on email
Share on print

SIARAN PERS

PERATURAN GUBERNUR DKI JAKARTA NO. 16 TAHUN 2020 TENTANG PENYAMBUNGAN DAN PEMAKAIAN AIR MINUM DIGUGAT DI MAHKAMAH AGUNG KARENA TELAH BERLAKU DISKRIMINATIF DAN BERTENTANGAN DENGAN NORMA HAK ATAS AIR

 

Jakarta, Senin, 16 Agustus 2021 lalu, dua orang Ibu Rumah Tangga warga Jakarta bersama Koalisi Rakyat untuk Hak Atas Air (KRuHA) mengajukan permohonan keberatan hak uji materiil atas berlakunya Peraturan Gubernur No. 16 Tahun 2020 Tentang Penyambungan dan Pemakaian Air Minum. Permohonan Keberatan Hak Uji Materiil yang dimohonkan Para Pemohon ini didasarkan pada dua alasan.

Alasan pertama adalah karena norma di dalam peraturan a quo bertentangan dengan Peraturan Perundang-undangan yang berlaku. Norma di dalam peraturan tersebut telah bersifat diskriminatif, tidak memberi kepastian hukum bagi warga serta bertentangan dengan hak asasi manusia terutama mengenai hak atas air. Diskriminatif dilakukan dengan mensyaratkan adanya bukti kepemilikan tanah untuk mendapat sambungan dan pemakaian air minum selayaknya warga Jakarta lainnya. Hal ini juga menandakan adanya pembatasan penikmatan hak warga Negara dalam mendapatkan layanan publik atas air.

Alasan kedua, akibat pengaturan norma yang diskriminatif itu telah timbul kerugian bagi warga Jakarta yang tidak memiliki Hak atas Tanah. Warga telah kehilangan akses untuk mendapatkan layanan air yang terjangkau bagi kehidupannya akibat pengaturan diskriminatif yang terdapat di dalam peraturan Gubernur No. 16 Tahun 2020. Muatan dari Peraturan tersebut telah bertentangan dengan Peraturan perundang-undangan, melanggar hak asasi manusia terutama akses warga terhadap hak atas air. Warga DKI Jakarta membayar mahal kebutuhan airnya, bahkan lebih besar dari tarif yang dikenakan bagi sektor komersial seperti pabrik, mal, Kawasan Wisata Ancol, bahkan hampir menyamai tarif air yang dijual ke kapal – kapal besar di Pelabuhan Tanjung Priok. Syarat bukti kepemilikan tanah tersebut merupakan syarat yang bersifat diskriminatif karena membedakan perlakuan untuk layanan air minum antara warga yang memiliki bukti kepemilikan hak atas tanah dengan warga yang tidak diakui kepemilikan tanahnya.

Hak atas air adalah hak yang bersifat inklusif, artinya layanan atas air yang diselenggarakan negara dan aparaturnya (dalam hal ini Gubernur DKI adalah penanggung jawabnya) muncul semenjak manusia lahir ke dunia. Hak tersebut melekat secara langsung tanpa perlu syarat apa pun. Putusan Mahkamah Konstitusi dalam Judicial Review UU Sumber Daya Air pada tahun 2015 bahkan menyatakan bahwa hak atas air merupakan hak yang turun dari hak hidup oleh karenanya hak yang berkaitan dengannya merupakan hak yang penting yang menjadi dasar kehidupan setiap orang. Tanpa hak atas air yang dipenuhi, maka hak-hak lain seperti hak atas Kesehatan dan kehidupan yang layak tidak akan terpenuhi sebagaimana mestinya.

Saat ini terdapat praktik di mana air sebagai res commune dikelola sebagai res nullius. Hak atas air merupakan turunan dari hak hidup dan bukan hak kepemilikan, karena air adalah barang publik maka mengaitkan urusan kepemilikan tanah dengan urusan akses terhadap air bersih adalah kesalahan fundamental terhadap tafsir hak atas air sebagaimana diamanatkan dalam komentar umum no. 15 mengenai hak atas air terhadap kovenan hak ekonomi, sosial dan budaya yang telah diakui dan menjadi dasar hukum dengan diratifikasinya kovenan tersebut berdasarkan UU No. 11 Tahun 2005.

Perlu diingat bahwa sebelum terbitnya keluarnya Peraturan Gubernur No. 16 Tahun 2020, warga DKI Jakarta di berbagai tempat telah banyak dilanggar hak atas airnya. Komodifikasi air baku, komersialisasi dan privatisasi layanan yang dilakukan pada layanan air Jakarta telah mengakibatkan banyak warga DKI Jakarta tidak dapat mengakses air dalam kuantitas dan kualitas yang layak. Praktik komodifikasi pada air baku yang kurang lebih 80% berasal dari Citarum, Jawa Barat, serta penerapan mekanisme full cost recovery berikut keuntungan yang harus dibayarkan kepada operator swasta, membuat warga DKI Jakarta harus membayar sangat tinggi untuk layanan air yang diterima.

Praktik komersialisasi layanan air secara langsung maupun tidak langsung telah mencabut hak atas air, khususnya bagi warga miskin DKI Jakarta. Keluarnya Peraturan Gubernur No. 16 Tahun 2020 tidak dapat mengakhiri masalah utama yang dialami oleh warga DKI Jakarta. Peraturan tersebut justru menjadi sarana legalisasi praktik komersialisasi dan privatisasi layanan air Jakarta. Diskriminasi yang dialami warga miskin DKI Jakarta juga terjadi pada program “Master Meter” yang dimaksudkan sebagai layanan “khusus” bagi Masyarakat Berpenghasilan Rendah (MBR), program yang juga diatur dalam peraturan tersebut di atas. Penerapan mekanisme master meter sering kali justru membuat komersialisasi air semakin menjadi-jadi bahkan melebihi komersialisasi yang terjadi karena aturan kontrak swastanisasi air Jakarta. Pada praktiknya, tarif air minum yang harus dibayar warga berkategori “MBR” dan merupakan anggota Master Meter mencapai Rp15.000,00/M3, jauh di atas rata – rata tarif air minum di Jakarta (Rp7.000,00 – Rp9.000,00).

Dengan demikian, upaya permohonan keberatan hak uji materiil yang dilakukan para pemohon merupakan tindakan hukum yang konstitusional demi mewujudkan layanan air yang sesuai dengan hukum hak asasi manusia, bukan hanya bagi para pemohon tetapi juga seluruh warga DKI Jakarta tanpa kecuali.

Kami berharap bahwa Mahkamah Agung dapat melihat upaya ini sebagai upaya mewujudkan keadilan air bagi seluruh warga DKI Jakarta.

 

Baca materi gugatan, silakan unduh pada tautan berikut:
https://drive.google.com/file/d/1VjDPNmS-dpbMKEukJpc6zxhbhLfBM7Fe/view?usp=sharing

Informasi Lainnya :