Oleh:
Rd. Agung Fajar Apriliyano, S.H
(LBH Semarang)
Bencana banjir rob di pesisir Jawa Tengah selalu menjadi momok menakutkan bagi masyarakat pesisir dalam setiap tahunya. Selain dari adanya fenomenal alam berupa perigee yakni kondisi bulan berada dalam titik terdekat bumi mengingat bulan melintasi bumi tidak berpola lingkaran melainkan berbentuk elips yang berimplikasi adanya air laut yang pasang di kawasan pesisir namun terdapat pula aktivitas-aktivitas kegiatan manusia yang mengakibatkan banjir rob di kawasan pesisir Jawa Tengah baik berupa kebiasaan maupun kebijakan.
Telah diketahui pada tanggal 23-25 Mei kawasan pesisir utara Jawa Tengah mengalami bencana banjir rob, contohnya Semarang tepatnya kelurahan Bandarharjo kawasan industri Lamacitra Pelabuhan Tanjung Mas yang mengalami rob dengan ketinggian 180 cm, 1 m bahkan hingga 2 m. Beberapa titik tanggul yang jebol adalah gambaran bahwasanya alam selalu memiliki kekuatan yang besar dibandingkan dengan manusia dan teknologinya artinya sebesar apapun teknologi manusia, alam selalu memiliki caranya untuk memperlihatkan kuasanya yang lebih besar dibanding dengan manusia. Dari hal ini bukan menjadikan manusia menjadi sosok yang pesimistis untuk menghadapi anomali alam melainkan yang dapat dilakukan manusia adalah dengan cara berusaha meminimlisir dari kedatangan bencana agar dapat diatasi dan tidak menimbulkan kerugian.
Apa yang kita lihat hari ini justru sebaliknya artinya minim atau bahkan tiada upaya-upaya dari Pemerintah Daerah dalam meminimalisir suatu bencana, produk kebijakan sebatas paradoks dari kerusakan alam yang timbul. Bagaimana tidak suatu kondisi daerah (pesisir) yang sedang mengalami musibah justru dijadikan ajang kontenisasi mempersiapkan hal-hal yang dapat menunjang di perhelatan politik 2024. Nampaknya dengan membagikan marchandise berupa kaos adalah upaya bagi Pemerintah Daerah untuk memberikan efek sejahtera untuk warganya, jika kita berfikir secara positif mungkin ini bisa diterima didalam akal melalui pembagian tersebut dapat memberikan kebahagiaan bagi warga yang sedang mengalami musibah. Absurditas ini mau tidak mau harus diterima sebagai penghormatan terhadap pemimpin kita sampai dengan hari ini.
Mengurai secara sederhana hal-hal yang dapat memperparah banjir rob tahun ini di pesisir Jawa Tengah khususnya Semarang dimana semuanya memiliki hubungan satu dengan yang lain ialah:
1. Penurunan Muka Tanah (Land Subsidence)
Tentunya kawasan pesisir sangat rentan keberadaanya dari tekanan lingkungan baik tekanan laut maupun daratan. Tekanan daratan contohnya, hadirnya aktivitas kota seperti perkantoran, perumahan, perdagangan-perindustrian dan lain sebagainya terlebih adanya jumlah populasi penduduk yang tinggi atau padat melahirkan beban kota yang semakin meningkat sebab berpengaruh pada kebutuhan terhadap air tanah berimplikasi permukaan air laut semakin tinggi dari amblesnya kontruksi tanah. Menurut data penelitian Pusat Studi Bencana, LPPM Universitas Diponegoro tahun 2015, penurunan muka tanah paling tinggi di Semarang lebih dari 5 cm terletak di sebagian Kecamatan Semarang Timur dan Kecamatan Gayamsari sementara penurunan antara 4-5 cm dominan mayor terjadi di Kecamatan Semarang Timur, Kecamatan Gayamsari dan Kecamatan Genuk. Penurunan sebesar 3-4 cm terjadi di sebagian Kecamatan Pedurungan, Kecamatan Genuk (hulu) dan Kecamatan Tembalang (hilir), penurunan muka tanah rendah sebesar 1-2 cm terdapat pada Kecamatan Tembalang, Kecamatan Candisari, Kecamatan Gajah Mungkur dan Kecamatan Semarang Barat (Pujiastuti et al., 2016) bahkan menurut penjelasan Heri Andreas seorang peneliti Geodesi ITB pada agenda diskusi banjir rob di Semarang (Monod, 04/06) menuturkan bahwa penurunan muka tanah di Pantura termasuk paling cepat di dunia kurang lebih berkisar 10-20 cm/tahun.
2. Pembangunan Infrastruktur Pesisir yang Masif
Melalui kacamata ilmu politik memandang pembangunan sebagai alternatif legacy dari suatu jabatan/kedudukan dan ini terjadi di Indonesia khususnya Jawa Tengah, beberapa proyek di kawasan pesisir terlihat jelas hanya suatu legacy yang diutamakan dengan menyampingkan nilai-nilai ekologi dalam pembangunan terutama hal-hal materil. Politik pembangunan telah berlaku sebenarnya semenjak era Soekarno awal 60an dengan bukti membangun Monas, komplek SUGBK dll yang dikenal dengan politik mercusuar demi ingin terlihat Indonesia megah yang kala itu menjadi menjadi tuan rumah pagelaran Asian Games dibalik negara masih pincang disemua aspek (rekontruksi pascakemerdekaan), tentu dari setiap proyek selalu terdapat korban terlihat kala itu terjadinya penggusuran besar dari Senayan, Petunduan, Kebon Kelapa sampai Benhil. Soehartopun demikian melalui program-programnya, yang paling terkenal ialah Repelita (Rencana Pembangunan Lima Tahun) sampai berjilid-jilid artinya semua rezim sama dalam hal pembangunan yang menyampingkan nilai-nilai imateril dan tidak mengakomodir korban-korban yang terdampak atas pembangunan yang menimbulkan kerugian. Lalu bagaimana rezim Jokowi melalui Nawacita? Butir Nawacita salah satunya berbunyi “melindungi segenap bangsa dan memberikan rasa aman pada seluruh negara” yang dijadikan sebagai program prioritas pemerintah. Kemudian kita relevansikan dengan kontekstualisasi bencana banjir rob di Jawa Tengah dimana setiap tahunya (musim rob) masyarakat pesisir selalu dihantui dengan bencana alam yang sudah pasti jaminan rasa aman dalam Nawacita menjadi bias. Ironi sebab hal ini masih terjadi di Jawa Tengah yang notabene masih salah satu bagian epicentrum Indonesia dengan pusat ke Jawaanya (DKI Jakarta, Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, Banten, DI Yogyakarta) yang masih penuh dengan ancaman bencana dan kemiskinan di kawasan pesisir utara pulau Jawa.
Kelahiran Perpres No. 109 Tahun 2020 Tentang Percepatan Proyek Strategis Nasional merupakan bentuk legitimasi akan hadirnya beberapa pembangunan di Jawa Tengah. Terhitung terdapat 21 objek vital proyek strategis nasional di Jawa Tengah dan terdapat tiga proyek pembangunan yang berimbas banjir rob kemarin adalah banjir rob terparah yang pernah dialami warga pesisir Jawa Tengah khususnya Semarang. Ketiganya adalah:
- Jalan Tol Semarang-Demak;
- Jalan Tol Semarang Harbour;
- Proyek Pembangunan Kawasan Industri Terpadu Batang.
Adanya penurunan muka tanah menjadi paradoks mengenai hal-hal apa yang dilakukan pemangku kebijakan dengan adanya pembangunan infrastruktur yang begitu masif. Hal ini terjadi karena nihilnya keseimbangan dari adanya pembangunan yang tidak disertai dengan aspek-aspek lain seperti aspek lingkungan, sosial dan kesejahteraan bagi warga yang terdampak. Contohnya di Tambaklorok, penghasilan yang tidak menentu setiap bulanya mengingat mayoritas bermata pencaharian nelayan menjadi indikator kemisikinan di perparah dengan hadirnya pembangunan-pembangunan di kawasan pesisir yang berdampak pada rusaknya ekosistem laut dan bermuara pada hasil tangkapan nelayan. Menurut jurnal Teknik PWK Universitas Diponegoro 2014, warga nelayan seminggunya dapat melaut kurang lebih 3-4 kali/minggu dengan pendapatan -+ Rp. 50.000,- dan jika dikalkulasikan pendapatan tersebut dapat menjadi -+ Rp. 800.000,- dengan jumlah tanggungan yang bervariatif seperti jumlah anggota keluarga dan lain sebagainya sehingga dapat disimpulkan pendapatan per kapita sebesar -+ 200.000,-/kapita (Natalia & Mukti, 2014).
3. Ekspansi Industri dan segala kebutuhanya
Keberadaan wilayah pesisir Jawa secara sosial-ekologis telah memprihatinkan dari adanya ekspansi industri dan segala kebutuhanya, Jawa Tengah misalnya lebih dari 69 ribu hektar dibutuhkan hasil dari Peraturan Daerah Rencana Zonasi Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil (Perda RZWP3K) yang berisi wilayah pesisir telah diperuntukkan demi aneka ragam proyek ekstraktif dan eksploratif yang berimplikasi adanya krisis sosial-ekologis (Ridwanudin, n.d.).
Gagasan pemerintah demi mencipktakan iklim pertumbuhan ekonomi tentu mengharapkan menghidupkan basis perokonomian yang kuat dari masyarakat pesisir melalui terbukanya lapangan kerja. Jawa Tengah memiliki 6 kawasan Industri (Jamaludin, 2021) di wilayah pesisir yang berpotensi hadirnya bahaya kerusakan lingkungan dan bencana salah satunya adalah banjir rob.
Kehadiran ekspansi industri tidak lain menciptakan iklim investasi besar-besaran melalui para investor masuk ke dalam negeri dengan harapan terjadinya perluasan lapangan kerja untuk masyarakat. Tetapi dampak ekspansi industri tersebut tidak seutuhnya menjadi jawaban dari persoalan yang sering terjadi mengingat keuntungan profit lebih utama dibanding dampak ekspansi yang menghadirkan domino effect dari krisis ekologis.
Selain paparan diatas masih banyak hal yang dapat menjadi indikator penurunan air tanah yang dapat memperparah banjir rob pesisir seperti pengambilan air tanah (ground water extraction) secara besar-besaran tanpa diimbangi dengan pengisian kembali air tanah yang seimbang menyebabkan penurunan muka tanah. Banyak narasi ilmiah yang telah memvalidkan hal ini seoalah semua sepakat tanpa menimbulkan pedebatan. Contohnya adalah journal.unnes.ac.id yang menyebutkan bahwa menurunya permukaan tanah di Semarang terjadi akibat pemanfaatan air untuk berbagai keperluan sehari-hari (Qosim & Qudus, 2014). Air tanah yang di sedot secara terus menerus menyebabkan terjadinya kekosongan dalam rongga pori-pori tanah yang berakibat amblesnya permukaan bahkan terjadi pula intrusi air laut. Kemudian terdapat juga kehadiran deforestasi hutan dan eksploitasi tambangpun tetap dilakukan untuk mengakselerasi bencana. Banjir Rob di pesisir utara Jawa Tengah menjadi tabiat tahunan yang selalu mengancam masyarakat pesisir namun sayangnya kebijakan pemerintah Jawa Tengah hingga kini masih berbanding terbalik dan terus menerus menjadi repetisi melalui proyek-proyek yang dibuat sehingga melanggengkan nestapa. Tentu hal ini menjadi alarm bahwasanya kondisi Jawa Tengah khususnya wilayah pesisir sedang mengalami ancaman besar akan kerusakan lingkungan akibat dari eksploitasi besar-besaran sumber daya alam dan pembangunan infrastruktur yang begitu masif tanpa memperdulikan aspek lain seperti sosial, lingkungan dan ekonomi bagi masyarakat terdampak.