Oleh : Launa, Sip., Mm,
KabarIndonesia – Di Jakarta, miringnya banyak gedung bertingkat, munculnya rongga di gedung, dan banyaknya ruas jalan yang ambles adalah konsekuensi logis dari eksploitasi air tanah secara berlebihan dan terus-menerus, serta makin besarnya beban tanah akibat berat bangunan yang mendorong terjadinya pemampatan lapisan tanah.
Dalam “Will Jakarta Be The Next Atlantis”, Nicola Colbarn menyatakan, jika pemanfaatan berlebihan tidak dapat dihentikan, dan pemerintah tidak menjalankan komitmennya terhadap penggunaan air tanah yang berkelanjutan, maka pada tahun 2030, Jakarta akan menjadi Atlantis kedua, tenggelam dan hilang (Kompas, 20/9/10).Di negeri ini, sejak awal tahun 1990-an, hak rakyat atas air kian suram seiring pelepasan pengelolaan negara atas sumberdaya air. Realitas ini terekam tegas dalam penerbitan Undang-Undang No 7/2004 tentang Sumber Daya Air (UUSDA) yang menggantikan UU No 11/1974 tentang Pengairan. Sejak UUSDA diberlakukan pada 19 Februari 2004 lalu, aroma privatisasi dan komersialisasi air di negeri ini kian terasa.
UUSDA tak hanya memberi peluang bagi hadirnya privatisasi sektor penyediaan air minum dan penguasaan sumber-sumber air (baik air tanah, air permukaan, maupun air sungai) secara komersial oleh badan usaha dan individu, namun juga penguasaan asing-seperti penyertaan modal Suez Lyonnaise Des Eux (Prancis) dan Thames Water (Inggris) pada Perusahaan Daerah Air Minum (PDAM) sejak tahun 1998-atas sumber daya strategis ini yang seharusnya berada di bawah pengelolaan negara.
Privatisasi air adalah berpindahnya pengelolaan air baik sebagian maupun seluruhnya dari sektor publik kepada sektor swasta. Kurang lebih dua dekade terakhir ini, privatisasi air menjadi salah satu isu pembangunan yang paling kontroversial. Dampak turunannya, kini kian banyak negara di dunia yang berlomba membuat kebijakan privatisasi air.
Di Jakarta, proyek privatisasi air menyebabkan masyarakat miskin kian sulit mengakses air bersih. Tahun 2009, akses masyarakat terhadap air bersih baru mencapai 38 persen. Dari sisi tata kelola, merujuk hasil audit BPKP, dari 275 jumlah PDAM, hanya 103 (37,45 persen) PDAM yang sehat. Laporan yang disusun oleh UNESCAP, ADB, dan UNDP juga menunjukkan bahwa Indonesia berada pada jalur yang lambat dalam pemenuhan target air bersih dan sanitasi dalam MDGs.
Nalar Privatisasi
Nalar privatisasi air berangkat dari logika “water right” yang bersumber dari tradisi hukum kepemilikan (property right). Nalar ini mengakui adanya hak kepemilikan manusia terhadap benda-benda tertentu, seperti hak atas tanah (right of land) dan hak atas air (right of water), yang bisa dimonopoli dan dapat dipertukarkan (tradable).
Studi Vandana Shiva (Water Wars: Privatization, Pollution and Profit, 2002) menunjukkan, logika privatisasi dan komersialisasi air bersumber dari gagagasan air sebagai komoditas yang dapat dipertukarkan dan diperjualbelikan.
Menurut Denis Soron (2006), komodifikasi adalah transformasi status dari barang milik bersama (yang penggunaannya ditentukan oleh prinsip-prinsip kebersamaan, keputusan demokrasi serta hak-hak publik), menjadi barang-barang yang dimiliki oleh perorangan atau badan swasta, yang dapat digunakan secara bebas, bersifat privat, dan berorientasi profit.
Sejak tahun 1998, 208 negara di dunia diprediksi akan mengalami kesulitan air. Angka ini diperkirakan akan merangkak naik menjadi 264 negara pada tahun 2025. Pada 2025, jumlah penduduk dunia yang kesulitan mendapatkan air bersih diperkirakan akan terus meningkat menjadi 2,3 miliar orang.
Jumlah ini seiring dengan pertumbuhan penduduk yang begitu pesat di hampir semua negara. Implikasinya, wabah penyakit mematikan akan menjadi masalah masalah serius di negara-negara miskin. Saat ini, di negara-negara berkembang, tiap tahun tercatat tak kurang dari 2,2 juta orang meninggal karena diare, 1,1 juta karena malaria, 17.000 akibat penyakit cacingan, dan 15.000 akibat demam berdarah.
Majalah Fortune, edisi Mei 2000 menulis, bahwa pada abad ke-21 air tampaknya akan mengambil peran yang dimainkan minyak pada abad ke-20, yakni menjadi komoditas bernilai yang menentukan kesejahteraan hidup sebuah bangsa. Krusialnya, tak seperti minyak bumi, air merupakan sumberdaya yang tak tergantikan (unrenewable).
Problem krisis air tak cuma dihadapi Indonesia, namun juga banyak negara miskin dan berkembang lainnya. Saat ini, setidaknya 80 persen atau sekitar 168 juta penduduk Indonesia belum memperoleh akses layak atas air bersih. 300 PDAM yang diberikan hak mengelola air bersih bagi masyarakat dianggap tak mampu mengelola usaha secara efisen dan menguntungkan akibat administrasi yang buruk.
Kendati hampir seluruh PDAM menerapkan pola pengelolaan air secara komersial, namun akibat manajemen yang buruk dan korup, PDAM mengaku terus merugi. Bahkan sejak tahun 2001 beberapa PDAM mulai menghentikan pengembangan saluran pipa ke sejumlah daerah yang sebenarnya sangat membutuhkan layanan air bersih.
Atas dasar kondisi itu, Bank Dunia (BD) menawarkan kebijakan pengelolaan sumber daya air dengan total pinjaman (utang) diperkirakan mencapai 500 juta USD (sekitar Rp 4,5 triliun). Tawaran kucuran pinjaman BD sejalan dengan niat pemerintah Indonesia yang membutuhkan reformasi dalam pengelolaan sumber daya air.
Berdasarkan kesepakatan itu, pada tahun 1998 Indonesia mengajukan program restrukturisasi sektor air bernama Water Resources Sector Adjusment Loan (Watsal). Di balik pinjaman itu, BD meminta syarat agar pemerintah Indonesia menyiapkan regulasi tata kelola air (UUSDA No 7/2004) sebagai bagian dari syarat pinjaman program Watsal (tahap pertama) senilai 300 juta USD.
Di sisi lain, Bank Pembangunan Asia (ADB) juga tengah memproses pinjaman bagi Indonesia senilai USD 88 juta bagi proyek irigasi, 81,19 juta USD bagi layanan air bersih, dan 5,1 juta USD untuk proyek pengelolaan investasi Bendungan Citarum, serta program Manajemen Sumberdaya Air Citarum Terpadu (Integrated Citarum Water Resources Management Program) dari Asian Development Fund senilai 30 juta USD.
Menurut catatan Koalisi Rakyat untuk Hak atas Air (Kruha), jumlah utang berjalan Indonesia di sektor perairan kepada ADB sebesar 804.69 juta USD dengan perincian nilai proyek yang sudah berjalan adalah sebesar 114.69 juta USD dan nilai proyek yang sedang dalam proses persetujuan sebesar 690 juta USD. Adapun jumlah utang berjalan Indonesia di sektor air kepada BD adalah 762.51 USD juta.
Reduksi Peran Negara
Agenda privatisasi dan komersialisasi pengelolaan air seperti termuat dalam UUSDA yang bersumber dari nalar hukum liberal jelas bertentangan dengan semangat Pasal 33 UUD 1945, dimana “Cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan yang menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh negara” (Ayat 2); serta “Bumi, air, dan segala kekayaan yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat” (Ayat 3).
UUSDA nyata telah mereduksi posisi dan peran negara semata sebagai pembuat dan pengawas regulasi (regulator). Negara yang kini berfungsi sebatas regulator yang wajib menyerahkan pengelola air kepada pihak swasta dan modal global jelas merupakan bentuk nyata dari praktik neoliberalisme.
Ada banyak bukti di dunia, privatisasi air justru menambah masalah baru bagi rakyat dan pemerintah. Di Casablanca, Maroko, sejak proyek privatisasi air digulirkan harga air melonjak tiga kali lipat. Di Johanesburg, Afrika Selatan, pengelolaan air oleh Lyonnaise des Eaux (MNC’s Perancis), membuat konsumsi publik atas air menjadi tidak sehat, tidak bisa diakses semua orang, dan harga jualnya terus melangit.
Di Ghana, kebijakan IMF dan Bank Dunia telah mendorong warga miskin mengeluarkan 50 persen dari pendapatannya untuk membeli air. Di Subic Bay, Philipina, sejak Manila menyetujui proposal privatisasi air dari ADB, harga air meningkat 400 persen; di Prancis harga air melonjak 150 persen; dan di Inggris harga air merangkak hingga 450 persen.
Peran negara sebatas regulator jelas akan menghilangkan otoritas negara atas air. Negara dengan peran minimal tentu tak mampu memberi perlindungan pada kelompok-kelompok miskin dan rentan dalam mendapatkan akses air yang sehat dan terjangkau.
Praktik neoliberalisme yang diusung rezim kapitalisme global, kini tak hanya mengincar minyak bumi, gas alam, batubara, dan sumber-sumber energi tak terbarukan lainnya, namun juga telah menjadikan air sebagai sasaran investasi, privatisasi, dan komersialisasi.
Pertanyaannya, dimana kedaulatan negara dan hak rakyat jika semua sektor yang menguasai hajat hidup orang banyak (seperti air, pendidikan, kesehatan, lingkungan, energi, dan pangan) telah dikuasai swasta dan modal global?
Penulis adalah dosen FISIP Universitas Satya Negara Indonesia;
Redaktur Jurnal Sosial Demokrasi
http://www.kabarindonesia.com/berita.php?pil=20jd=Hak+Rakyat+atas+Air+%28Catatan+Hari+Air+Sedunia%2C+22+Maret+2011%29&dn=20110324031846