Layanan Air Bersih Jakarta; Tersesat Dalam Jebakan Privatisasi

Share on facebook
Share on twitter
Share on whatsapp
Share on email
Share on print

Oleh: Hamong Santono

Senin 6 Juni 2011, ratusan masyarakat Jakarta mendatangi Balaikota Pemerintah Provinsi Jakarta menuntut  Gubernur Jakarta untuk menghentikan privatisasi layanan air bersih di Jakarta. Apa yang dilakukan oleh ratusan masyarakat tersebut bukanlah hal yang pertama kali dilakukan dan sejatinya merupakan bagian dari ekspresi kekesalan atas buruknya layanan air bersih di Jakarta yang telah diprivatisasi sejak 13 tahun lalu.Menilik kembali ke belakang,  pada bulan Juni 1998 layanan air bersih di Jakarta memasuki babak baru. Melalui kontrak konsesi selama 25 tahun, layanan air bersih di Jakarta resmi berpindah dari PAM Jaya-perusahaan air milik publik- kepada dua operator swasta, yaitu PT. PAM Lyonaise Jaya (Palyja) dan PT. Thames  PAM Jaya (TPJ)- dalam perkembangannya PT.TPJ berganti kepemilikan dan berganti nama menjadi PT. Aetra pada tahun 2006. Sejak saat itu, seluruh aktivitas penyediaan layanan air di Jakarta mulai dari produksi air bersih sampai pendistribusian air kepada pelanggan,menjadi tanggung jawab kedua operator swasta.

Privatisasi layanan air bersih di Jakarta dilakukan karena PAM Jaya dianggap tidak memiliki kemampuan teknis dan keuangan yang dibutuhkan untuk meningkatkan layanan air bersih  di ibu kota negara. Sementara dua operator swasta diyakini memiliki keahlian teknis dan dana untuk membuat layanan air bersih Jakarta setara dengan ibukota-ibukota lain di berbagai negara maju. Kontrak konsesi yang diperoleh dua operator swasta tersebut berasal dari tindakan politis rezim Suharto. Proses itu dimulai dengan sebuah surat dari Presiden Suharto pada 1995, dan diakhiri dengan dua perusahaan yang ditunjuk pada 1997, tanpa melalui proses tender.

Terlepas dari persoalan proses privatisasi yang jauh dari transparan dan dipenuhi praktek nepotisme, privatisasi air di Jakarta seiring sejalan dengan upaya dari lembaga keuangan internasional (IFIs) seperti Bank Dunia dan ADB  yang pada saat itu sedang gencar-gencarnya mempromosikan keterlibatan sektor swasta dalam penyediaan layanan dasar, khususnya air bersih yang merupakan bagian dari agenda neo-liberalisme yang didukung oleh IFIs.

Air di Jakarta setelah 13 Tahun Privatisasi
Setelah lebih dari 13 tahun layanan air bersih di Jakarta diprivatisasi, akses masyarakat terhadap air bersih tidak membaik. Kedua operator swasta  gagal memenuhi harapan, untuk memberikan perbaikan layanan kepada masyarakat. Target-target teknis yang telah disepakati gagal dipenuhi oleh dua operator swasta. layanan yang tertuang di kontrak kerjasama tidak berhasil dipenuhi, antara lain volume air yang terjual, kebocoran air dan cakupan layanan. Tingkat kebocoran air mencapai 46% atau kurang lebih senilai Rp 1.764 miliar. Cakupan layanan hanya 63% pada akhir tahun 2008 , hal ini berarti ada 37% kelompok masyarakat Jakarta belum mendapatkan fasilitas air bersih.

PAM Jaya sendiri melalui Direkturnya menyatakan bahwa sejak diprivatisasi 13 tahun yang lalu, PAM Jaya mengalami kerugian hingga Rp. 583,67 milyar. Kerugian ini muncul akibat hutang shortfall, yaitu hutang yang muncul akibat adanya selisih antara imbalan yang diberikan kepada dua operator swasta dengan tarif .  Apabila privatisasi air Jakarta tetap dilanjutkan sampai kontrak konsesi berakhir maka kerugian PAM Jaya diperkirakan sebesar Rp. 18 triliun pada tahun 2022.

Kelompok masyarakat yang paling terkena dampak akibat buruknya layanan air bersih di Jakarta adalah kelompok masyarakat miskin dan juga kelompok perempuan. Ketiadaan akses terhadap air bersih membuat masyarakat miskin harus membeli air  dari pedagang air keliling yang harganya jauh lebih mahal untuk setiap m3 air . Kelompok perempuan terutama ibu-ibu, harus bangun lebih pagi hanya untuk mendapatkan air bersih, yang hanya mengalir pada saat kebanyakan masyarakat masih terlelap tidur.

Terminasi Kontrak Sebagai Pilihan Terbaik
Apa yang terjadi dengan layanan air bersih di Jakarta menunjukkan bahwa kebijakan untuk memindahkan tanggung jawab penyediaan layanan air dari sektor publik kepada sektor swasta yang didorong oleh IFIs mengalami kegagalan. Sektor swasta gagal untuk memperbaiki layanan dan terutama gagal untuk memberikan akses air bersih yang lebih baik kepada masyarakat miskin. Parahnya, kerugian tidak hanya dialami oleh masyarakat, tetapi juga Pemerintah Provinsi Jakarta (PAM Jaya).

Pilihan untuk melakukan negosiasi ulang terhadap kontrak kerjasama antara PAM Jaya dengan dua operator swasta, menjadi pilihan pertama yang dilakukan untuk menyelesaikan persoalan layanan air bersih di Jakarta. Bagi PAM Jaya dan dua operator swasta, negosiasi ulang mungkin dipandang sebagai jalan terbaik, tetapi tentu tidak  bagi masyarakat Jakarta. Proses negosiasi ulang kontrak hanya dilakukan oleh PAM Jaya dan dua operator swasta, dan jauh dari partisipasi masyarakat. Masyarakat Jakarta tidak pernah tahu apa yang dilakukan oleh mereka. Transparansi dan akuntabilitas menjadi barang mahal dalam proses negosiasi ulang antara PAM Jaya dan dua operator swasta.

Terminasi kontrak konsesi haruslah menjadi pilihan utama bagi Pemerintah Provinsi Jakarta untuk mengatasi persoalan air bersih di Jakarta. Pemutusan kontrak juga harus diikuti dengan upaya untuk memperbaiki PAM Jaya agar bisa beroperasi sebagai layanan air milik publik yang handal. PAM Jaya harus dirancang sebagai sebenar-benarnya lembaga publik yang menjadi kepanjangan tangan negara yang bekerja untuk memastikan hak atas air masyarakat khususnya masyarakat Jakarta tidak terabaikan. Dengan demikian PAM Jaya harus terikat pada mekanisme keterbukaan informasi publik, membuka seluas-luasnya partisipasi masyarakat, dan menjalankan semua tugas yang menjadi kewajiban negara untuk terjaminnya hak atas air bagi seluruh masyarakat Jakarta. Sayangnya keinginan untuk melakukan terminasi kontrak selalu dibayangi oleh ketakutan akan dampak yang ditimbulkan terutama terkait dengan iklim investasi di Indonesia dan besarnya nominal uang yang harus dibayarkan sebagai konsekuensi dari terminasi. Sekarang, keputusan pada di Gubernur Jakarta, apakah terus berada dalam bayang-bayang ketakutan yang akan membuat penderitaan warga Jakarta untuk mendapatkan air menjadi semakin panjang atau mengambil sikap tegas untuk menyatakan berhenti bekerjasama dengan dua operator swasta!!

Informasi Lainnya :