“Air di bumi Indonesia telah dinisbatkan sebagai benda publik (res cummunae) dan akses manusia kepadanya telah dikukuhkan oleh putusan MKRI sebagai hak asasi. Sifat air yang tidak tak terbatas dan makin langkanya air bersih untuk menjadi sumber konsumsi masyarakat karena berbagai sebab makin meneguhkan bahwa hak atas air sebagai sebuah norma telah menjadi bagian paling inti dari tugas konstitusional negara Indonesia untuk menerjemahkannya ke dalam tata kelola pemerintahan, kebijakan publik, serta pengembangan pranata sosio-kultural masyarakat”[1]
Di Indonesia terlepas diakui atau tidak, gerakan buruh selalu dapat diidentifikasi sebagai gerakan yang sangat normatif. Pertarungan nilai upah layak, perlawanan pemutusan kerja sepihak, hak atas pesangon, tunjangan hari raya, sampai dengan cuti melahirkan adalah serangkaian masalah yang dapat dikategorikan sebagai problem normatif. Dasarnya sederhana karena hal tersebut diatur di dalam Undang-Undang (UU) dari semenjak UU Ketenagakerjaan lama, UU No. 13 tahun 2003, sampai perubahannya dalam UU Cipta kerja. Di luar itu jangan harap ada diskursus lebih lanjut, apalagi dibicarakan lalu diperjuangkan.
Masalah-masalah normatif di atas dapat dikatakan sebagai ihwal khusus urusan serikat buruh. Serikat buruh punya legal standing atau kapasitas hukum untuk memperjuangkan hal-hal tersebut. Tapi di luar itu, serikat akan menyatakan hal-hal lain di luar problem normatif adalah bukan urusan serikat buruh. Atau dalam bahasa yang lebih halus, urusan tersebut adalah urusan non sektor perburuhan.
Jangankan urusan privat pada kasus yang sering dihadapi oleh buruh seperti perceraian, hutang piutang, leasing, dan lain-lain. Urusan kenaikan tarif air, atau bahkan listrik sekalipun yang hinggap sebagai problem publik harian, jarang dibicarakan di dalam rapat-rapat kerja serikat. Masalah air, listrik, dan masalah lainnya di luar problem normatif adalah masalah masing-masing orang.
KOVENAN INTERNASIONAL HAK-HAK EKONOMI, SOSIAL DAN BUDAYA yang telah diratifikasi melalui UU No 11 Tahun 2005 pada Pasal 8 angka 1 huruf a menyatakan bahwa:
“Negara-negara Peserta Perjanjian berusaha menjamin Hak setiap orang yang membuat serikat buruh dan menjamin anggota serikat buruh menurut pilihannya, hanya tunduk pada peraturan organisasi yang bersangkutan, demi promosi dan perlindungan bagi kepentingan ekonomi dan sosialnya. Tidak boleh dikenakan pembatasan-pembatasan terhadap pelaksanaan hak ini kecuali yang diatur dengan undang-undang dan yang diperlukan dalam masyarakat demokrasi bagi kepentingan keamanan nasional atau ketertiban umum atau demi perlindungan terhadap hak dan kebebasan orang lain”
Pasal ini menunjukan bahwa pembentukan serikat buruh dan jaminan atas keberadaannya ditujukan demi perlindungan kepentingan ekonomi dan sosialnya. Kepentingan ekonomi dan sosial bagi serikat buruh seharusnya tidak dapat dikavling pada urusan yang normatif semata. Urusan hak atas upah adalah hal penting, tapi urusan kepentingan ekonomi dan kepentingan sosial seharusnya lebih dari itu atau tak boleh dikecilkan.
Di Bekasi Jawa Barat pada tahun 2019 dalam sebuah diskusi, seorang buruh mengatakan bahwa upah yang di dapatnya setiap bulan sebesar Rp.4.800.000,00 dan Rp.600.000,00 diantaranya habis untuk membeli kebutuhan air. Angka tersebut jika kita buatkan persentase adalah sekitar 12% dari total upah yang diterima. 4% lebih besar dari angka kenaikan upah yang diketok 8 % melalui metode Peraturan Pemerintah (PP) 78 Tahun 2015 tentang pengupahan selama lima tahun. Di Tangerang angka yang dihadirkan lebih besar lagi, sekitar 15% dari upah yang diterima habis untuk memenuhi kebutuhan air. Hal-hal tersebut justru bertentangan dengan Peraturan Menteri Dalam Negeri (Permendari) No 21 Tahun 2020 yang menyatakan bahwa batas atas orang membayar tarif untuk air adalah tidak boleh lebih dari 4% pendapatan masyarakat atau upah minimumnya.
Dalam hal keterkaitan buruh dengan persoalan air, kita perlu juga melihat lebih detail mengenai soal berapa persen dari upah buruh yang digunakan untuk biaya pemenuhan kebutuhan air bagi dirinya ketika bekerja. Ketika buruh bekerja di kota besar, sedangkan dia merupakan buruh dari luar kota yang setiap hari bermigrasi untuk bekerja, ketika tidak ada akses air publik maka biaya yang dikeluarkan harian akan lebih besar lagi. Hal ini dikarenakan buruh yang bekerja dan bermigrasi wilayah urban telah terjebak dalam tata kelola air perkotaan yang bergantung pada layanan air yang berbiaya tinggi dan berkualitas buruk. salah satu contohnya adalah ketergantungan pada penggunaan air minum dalam kemasan karena ketidaktersediaan sumber air publik yang dapat diakses langsung untuk air minum.
Angka-angka di atas tentu bukan hanya angka statistik semata. Angka tersebut adalah gambaran bahwa upah yang diterima oleh buruh habis pada urusan-urusan dimana Negara berkewajiban melakukan pemenuhan atas haknya. Negara telah melakukan privatisasi atas layanan air dan mengkomersilkan air publik sehingga angka-angka di atas akan selalu naik dan membebani rumah tangga buruh. Air adalah urusan publik oleh karenanya Negara harus selalu dapat diminta pertanggungjawaban atas kelalaiannya (keenggannya) dalam memenuhi kewajiban.
Perlu diingat bahwa perkembangan hukum kita yang semakin liberal melalui UU Cipta Kerja, urusan advokasi kenaikan upah menjadi sangat sulit. Di tengah itu semua pengeluaran air bagi rumah tangga buruh tentu tidak akan turun. Itu belum termasuk layanan yang semakin buruk dengan masalah air yang tidak layak konsumsi, tidak mengalir setiap waktu, dan pada akhirnya kita selalu membeli air dan menghabiskan upah yang kita terima untuk memenuhi kebutuhan dasar kita. Perlu dilihat bahwa Permendagri No 21 Tahun 2020 memberikan batasan bahwa Hak dasar setiap warga Negara untuk memenuhi standar kebutuhan air adalah sebanyak 10 meter kubik/kepala keluarga/bulan atau 60 liter/orang/hari. Ini juga dengan jaminan hukum berdasarkan Permenkes No 492 Tahun 2010 bahwa standar air minum yang dimaksud haruslah memenuhi syarat kesehatan.
Kita akan menghadapi krisis yang semakin besar dari waktu ke waktu. Cerita krisis air akan selalu menjadi cerita jual beli komersil dan pada akhirnya jika tak mampu memenuhinya kita akan menghadapi kematian demi kematian bagi masa depan anak-anak kita semua.
Air adalah kehidupan dan Putusan Mahkamah Konstitusi mengenai Judicial Review UU Air pada tahun 2004 dan 2015 menyatakan bahwa hak atas air adalah derivatif pada hak hidup. Hak atas hidup haruslah dipahami sebagai hak dasar yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun (Non Derogable Rights) oleh karenanya turunan dari padanya adalah hak yang demikian penting.
Penting saat ini kita semua mempunyai pandangan bahwa buruh adalah warga Negara juga tanpa kecuali. Singkatnya urusan warga ya urusan buruh. Urusan air bukan urusan warga perkotaan semata dalam konteks pengklasifikasian yang salah, tetapi air adalah urusan semua orang tanpa kecuali termasuk buruh dan organisasi serikatnya. Jika urusan air sebagai urusan publik sekaligus urusan buruh, maka buruh akan masuk pada wilayah pertarungan hak yang sangat subtansial: pemenuhan hak kesejahteraan bagi buruh dan keluarganya.
Hak buruh atas air adalah juga hak warga Negara atas air. Buruh sebagai warga punya hak untuk mendapatkan air yang layak minum, dan memenuhi standar kesehatan. Hak buruh sebagai warga juga berhak atas layanan air yang tidak diskriminatif. Air adalah milik semua orang dan tak dapat dimiliki oleh siapapun (Res Commune) oleh karenanya akses terhadapnya tidak boleh dibatasi oleh berbagai kebijakan dan regulasi apapun yang diskriminatif. Tak peduli di mana warga tinggal, baik di kampung pedesaan atau kampung perkotaan, selama dia warga Negara maka berhak atas akses terhadap air.
Dalam konteks gerakan buruh yang lebih besar, inilah saatnya buruh bertarung pada wilayah publik yang lebih luas. Inilah saatnya gerakan buruh terlibat aktif dalam berbagai upaya advokasi demi pemenuhan hak hak publik. Kita perlu melepas sekat formal organisasi serikat buruh. Selama bekerja dan mendapat upah atas pekerjaan tersebut, dan air adalah dasar kehidupan, maka hak atas air adalah hak yang perlu kita perjuangkan bersama-sama.
—————————–
[1] Hak Atas Air dan Spektrum Pertanggungjawabannya Sebuah Kajian Teoretis, Komparatif dan Aplikatif, oleh Wijanto Hadipuro Edisius Riyadi Henry Thomas Simarmata Muhammad Reza Sigit Karyadi Budiono, Halaman 9