HAM Tahun 2021: Merebut Kembali Ruang Ridup Rakyat

Share on facebook
Share on twitter
Share on whatsapp
Share on email
Share on print

Siaran Pers
Komite Rakyat Korban Pelanggaran HAM

Indonesia, 10 Desember 2021

“Memperkuat Gerakan Rakyat Sipil, Memulihkan Ruang Hidup, dan Memutus Kerjasama dengan Rejim Oligarkis”

Hak Asasi Manusia (HAM) bagi rakyat adalah hak untuk mengelola ruang hidupnya dengan rasa aman, tidak ada ancaman dan intimidasi. HAM memberikan kekuasaan kepada pemilik hak yaitu rakyat untuk memilih pengaturan ruang hidup yang berkelanjutan bagi lingkungan dan berkehidupan.

Namun, nilai prinsipil tentang HAM ini kemudian dibalik oleh negara. Cerita terbalik ini adalah akibat dari pengadopsian secara sempurna oleh rejim Jokowi terhadap warisan pembangunanisme Orde Baru yang bercorak otoritarian dan oligarkis – yang dipelopori oleh Suharto dan dipandu oleh negara-negara kapitalis dunia.

Dalam 7 tahun kepemimpinannya, pembangunan infrastruktur dan kekerasan yang turut menyertainya telah menjadi ruh utama dan kosakata kunci bagi seluruh landasan pembangunan dan penyelenggaraan pemerintahan negara Indonesia. Akibatnya, seluruh ruang hidup rakyat kecil di pedesaan, lorong-lorong sempit perkotaan, pinggiran hutan, wilayah pesisir, dan pulau-pulau kecil telah dikapling dan diubah menjadi blok-blok ekstraktif yang mengancam, dan menebar teror dalam berbagai wajah.

Dalam pembangunanisme, HAM adalah musuh negara. Rakyat yang memperjuangkan haknya ditangkap, diintimidasi dan direpresi oleh negara. Rakyat yang memperjuangkan hak-haknya dianggap sebagai penjahat karena mengganggu proses pembangunan demi akumulasi keuntungan. Ini terjadi hampir di seluruh tapak dan kampung di Indonesia. Di Wadas, Rakyat bahkan mempertanyakan “Apa arti kewarganegaraan kita, disaat kita sebagai warga negara sedang mempertahankan hak atas tanah kita, namun dianggap seolah kita para penjahat negara?”

Selain menganut ekstraktivisme, liberalisasi ekonomi rejim pemerintahan Jokowi juga telah mendorong tumbuhnya model pemerintahan yang berwatak oligarkis dan perkembangbiakan rasisme serta fasisme. Dengan demikian, negara telah menjadi aktor utama pelanggaran HAM.

Ini kemudian memupuk pesimisme rakyat terhadap kehadiran negara. Kehadiran negara justru dianggap sebagai penyebab krisis sosial-ekologis di kampung. Misalnya seperti dalam kasus perampasan tanah rakyat oleh TNI di Urutsewu Kebumen, kasus perampasan ruang hidup rakyat Kulon Progo versus bandara NYIA dan pertambangan di Yogyakarta, kasus Wadas di Purworejo, kasus ekosida yang dilakukan oleh PT Lapindo di Porong, perampasan tanah di Pakel dan konflik pertambangan Tumpang Pitu di Banyuwangi, kasus perampasan ruang hidup rakyat kecil perkotaan Sepat di Surabaya dan Taman Sari di Bandung, kasus rakyat Indramayu versus PLTU, kasus reklamasi Benoa di Bali, pelanggaran HAM berat di Papua, dan berbagai kasus lainnya.

Tentunya, seluruh model narasi pembangunan ini mengantarkan kita pada sebuah kesimpulan, bahwa perluasan geografi produksi kapital (perampokan ruang hidup rakyat) akan semakin terus membesar di masa mendatang. Dan krisis sosial-ekologis di seluruh kampung akan terus diproduksi oleh negara atas nama mantra-mantra “pembangunanisme-kapitalisme”.

Naasnya, di tengah krisis tersebut, lembaga yang diberikan mandat oleh rakyat untuk mendorong penyelesaian kasus-kasus pelanggaran HAM tampaknya juga mulai meninggalkan perannya, dan berkolaborasi dengan para aktor yang memiliki rekam jejak pelanggaran HAM, serta melegitimasi model pemerintahan saat ini.

Di tengah gelapnya nasib demokrasi dan keselamatan ruang hidup rakyat tersebut, selain harus terus merawat semangat perlawanan agar terus tumbuh dan menjaga solidaritas antar warga tetap terjaga, maka penguatan dan konsolidasi gerakan masyarakat sipil juga menjadi salah satu langkah awal terbaik untuk membalik dan memulihkan seluruh krisis sosial-ekologis saat ini.

Sebagai kerangka awal, selain mendelegitimasi dan memboikot penyelenggaraan pemerintahan Jokowi, kami menawarkan ajakan dan seruan:

1. Menolak seluruh narasi konseptual pembangunan pemerintahan Jokowi dalam rangka pemulihan dan penegakan HAM yang berbasis pada keselamatan ruang hidup rakyat.
2. Mendorong penyelenggaraan konsolidasi gerakan rakyat dan pengetahuan tanding untuk menggantikan model pembangunan ekstraktivisme dan liberalisasi ekonomi.
3. Menolak demokrasi liberal parlementariat pemerintahan Jokowi untuk mendorong tumbuhnya praktik demokrasi langsung – sekaligus memulihkan kembali warga sebagai subjek otonom “demokrasi” dan ruang hidupnya.
4. Mendorong gerakan pemulihan “ruang bersama” dalam semangat dan prinsip-prinsip nilai yang adil dan setara, untuk memulihkan reproduksi masyarakat dan komunitas dalam rangka menggantikan ekstraktivisme.

Informasi Lainnya :