BUBARKAN BBWS, DIRJEN SDA KEMENPUPERA
ROMBAK BIROKRASI PENGELOLAAN AIR DENGAN MENEMPATKAN MASYARAKAT SEBAGAI AKTOR UTAMA
Seruan ini disusun berdasarkan konflik antara warga dengan BBWS di berbagai tempat dengan berbagai jenis proyek atas nama perbaikan pengelolaan air yang justru melahirkan masalah – masalah baru yang lebih serius: kerusakan alam dan penindasan manusia.
27 Juli 2021
Indonesia selalu menjadi laboratorium pengelolaan sumber daya air bagi lembaga pendanaan internasional, birokrasi, konsultan bahkan akademisi. Meskipun Indonesia memiliki 21 persen air tawar di Asia-Pasifik, lebih dari 100 juta orang tidak memiliki akses ke air minum yang aman. Sebagian besar dari 30 sungai utama di Indonesia telah tercemar dan tidak terpakai, kecuali setelah diolah dengan teknologi dan biaya besar. Tata kelola air telah gagal total di Indonesia.
Hanya kurang dari 60 persen dari total lahan subur yang memiliki akses air untuk menanam pangan di Indonesia, 40 persen lahan subur yang luasannya terus menyusut tak terlayani kebutuhan airnya. Mengalami dampak perubahan iklim, petani menjadi “penerima manfaat” serta produksi beras negara pengimpor. Sejauh ini, solusi teknologi untuk masalah-masalah seperti itu picik. Saat menerapkan Integrated Water Resource Management (IWRM) di Daerah Aliran Sungai (DAS), prinsip dasar inklusivitas dan akuntabilitas telah dihindarkan oleh pemerintah dan Lembaga Keuangan Internasional (IFI). Masyarakat dan petani yang hanya bergantung pada sungai kehilangan akses ke sungai. Dengan dalih IWRM, inklusi dan kelonggaran sektor swasta terhadap industri membuat ekologi sungai terancam.
Dibalik masalah tersebut adalah ruang buruk pengelolaan air Indonesia, terbentuk dari kombinasi birokratisasi yang tidak kompeten, koruptif, dan kepentingan-kepentingan lembaga pendanaan internasional. Kombinasi ini telah membuat jalan untuk mengasingkan masyarakat dari mengelola dan mengakses ekosistem air dengan mengizinkan inklusi sektor swasta serta mengubah pola kerja sistem pelayanan publik mengikuti pola kerja korporasi (korporatisasi), dengan tujuan utama memupuk keuntungan. Kelestarian dan keberlangsungan ekosistem air, serta keamanan manusia selalu dikorbankan, seringkali dengan mengatasnamakan kepentingan “publik” atau kepentingan “nasional”.
Sejak tahun 1970-an, pemerintah telah gagal mengelola, melestarikan, memberikan akses kepada warga negara terhadap sumber daya. Demikian pula, sektor swasta telah gagal untuk mengisi kesenjangan. Sepuluh tahun berlalu sejak ditetapkannya Hari Sungai Nasional pada 27 Juli 2011 melalui Peraturan Pemerintah No 38 tahun 2011 pasal 74 tentang penetapan hari sungai, tidak ada kemajuan berarti dalam pemulihan dan tata kelola sungai Indonesia. Faktanya, bencana banjir dan kekeringan merata hampir di seluruh pelosok nusantara disetiap musim hujan dan kemarau. Sungai bukan menjadi sumber kehidupan bagi warga, namun telah dikemas menjadi nilai proyek infrastruktur, sumber bencana dan fasilitas gratis untuk pembuangan limbah industri.
Alokasi anggaran publik yang cukup besar dikelola “pengurus” sungai di bawah Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (Kemen PUPR) melalui Balai Besar Wilayah Sungai (BBWS). Sayangnya pengelolaan sungai hanya diterjemahkan ke dalam besaran nilai proyek infrastruktur massif di badan sungai seperti pembangunan DAM atau Bendungan dan Tanggul Betonisasi Sungai. Menggusur ekosistem alami air, termasuk manusianya. Pengelolaan sungai di bawah Kemen PUPR telah mengerdilkan urusan sungai hanya pada persoalan bagaimana mengatasi banjir dengan solusi-solusi instan seperti normalisasi – betonisasi sungai untuk mempercepat aliran air ke laut. Sungai didegradasi menjadi saluran drainase pembuangan air kotor, sungai diamputasi dengan konstruksi kanal-kanal beton
Strategi membuang air secara cepat dan masif dari sungai ke laut adalah praktek usang warisan politik era kolonial. Pekerjaan Umum yang dulu bernama Dept. van Burgerlijke Openbare Werken atau BOW sering dipelesetkan Batavia Onder Water karena dianggap tidak becus mengurus banjir. Dari sejarah banjir Batavia dan mitigasi lewat pembangunan Kanal Banjir Barat dan rencana Kanal Banjir Timur dapat dipelajari konsekuensi dari alih fungsi pemanfaatan lahan di hulu. Hutan menjadi luasan kebun-kebun komoditi karet, tebu, teh dan kopi. Salah satu akar persoalan banjir adalah besarnya beban limpasan air koefisien run off akibat perubahan dan inkonsistensi perlindungan tata ruang di kawasan hulu dan masih diteruskan sampai saat ini, tanpa sedikitpun intervensi berarti terhadap laju kerusakan daerah tangkapan air (water catchment area).
Jakarta sebagai kota delta yang lahir dari sungai, daratan kota Jakarta terbentuk dari sedimentasi sungai yang disebut tanah aluvial yang secara alamiah mengalami pemadatan struktur tanah. Kondisi demikian dan ekstrasi air tanah secara massif oleh sektor komersil berakibat pada penurunan muka tanah. Betonisasi sungai, menjadi salah satu faktor menghambat resapan cadangan air tanah, yang harusnya bisa dikelola oleh sungai. Forest Watch Indonesia dalam hasil temuannya tahun 2016 memaparkan, kondisi tutupan hutan di hulu DAS Ciliwung yang tersisa tinggal kurang dari 12 persen dan secara keseluruhan 29 ribu hektare, dan data keseluruhanan hulu-hilir kurang dari 8 % dari total luas Kawasan DAS yang mencapai 38 ribu hektar. Kondisi ini tidak sesuai dengan yang diamanatkan di dalam undang-undang, dimana keberadaan hutan sebagai daerah resapan air yang optimal harus mempunyai luasan yang cukup dengan sebaran proporsional, minimal 30 persen dari luas DAS.
Kejadian kekeringan di Bogor ditandai dengan menurunnya tinggi muka air (TMA) di Sungai Ciliwung TMA Bendungan Katulampa Bogor menunjukkan titik terendah, yaitu 0 cm (pemantauan Ciliwung Institut, 26 Juli 2021). Kondisi kering 0 cm menjadi ritual tahunan bulan Mei-September. Artinya debit air yang masuk ke Sungai Ciliwung 0 liter perdetik (kebutuhan ekosistem), sebaliknya ketika hujan deras sebentar TMA bisa melonjak ke Siaga II 200 cm. Daya dukung lingkungan wilayah hulu DAS Ciliwung tidak lagi mampu melindungi daerah hilirnya, khususnya dalam hal penyediaan sumber air dan pengendalian banjir Jakarta. Sempadan sungai adalah ruang banjir yang awalnya adalah kawasan hijau, ruang parkir air ketika sungai meluap malah disesaki dengan bangunan baru tembok besar beton. Pohon-pohon besar digusur diganti sheetpile dan jalan raya beton yang dinamai jalan inspeksi. Sempadan sungai sebagai ruang esensial sungai menjadi sempit, kontradiktif dengan klaim tujuan normalisasi sungai untuk memperbesar daya tampung sungai.
Solusi untuk banjir Jakarta dengan proyek infrastruktur massif, yakni pembangunan 2 Waduk Dry Dam di kawasan Puncak Kab. Bogor yaitu Waduk Ciawi Cibogo dan Sukamahi, serta abnormalisasi sungai/betonisasi sungai adalah solusi palsu yang justru memperburuk banjir dan masa depan ketahanan kita menghadapi krisis iklim, dimana musim kemarau semakin panjang dan hujan dengan intensitas curah hujan ekstrim yang tidak lagi bisa diprediksi. Waduk Dry Dam di kawasan hulu tidak menjawab ancaman kekeringan dan ancaman konflik air dimasa akan datang. Hal itu belum ditambah jumlah sampah yang dihasilkan kawasan Puncak di aliran sungai akan memberi dampak pada kinerja waduk Dry Dam. Besaran PAD dari sektor wisata Puncak tidak diimbangi dengan anggaran penanganan sampah di Kawasan Puncak, dimana jumlah armada pengangkutan sampah sangat kurang, hanya melayani sampah pengusaha hotel dan restoran di jalur besar jalan raya puncak. Di luar jalur utama, semua sampah hampir dapat dipastikan akan dibuang ke anak sungai yang bermuara ke Ciliwung, baik sampah hotel, villa, sampah pasar Cisarua, maupun sampah domestik warga.
Di Wadas, Purworejo Jawa Tengah, warga hidup dalam ketidakpastian sebagai implikasi dari pembangunan Bendungan Bener. Proyek Bendungan Bener adalah salah satu proyek strategis nasional yang akan berdiri di atas lokasi 2 Kabupaten (Purworejo dan Wonosobo), 3 Kecamatan (Bener, Kepil, dan Gebang), 11 Desa (Guntur, Nglaris, Limbangan, Karangsari, Kedung Loteng, Wadas, Bener, Kemiri, Burat, Gadingrejo, dan Bener). Desa Wadas adalah salah satu desa yang terkena dampak dengan adanya pembangunan bendungan tersebut di mana di wilayah tersebut akan diambil tanah dan batuannya sebagai bahan material bangunan bendungan. Warga wadas menolak proyek tersebut karena merasa tidak pernah dilibatkan dalam pengambilan keputusan dan penetapan terkait proyek tersebut. Selain itu, warga Wadas yang mayoritas adalah petani sangat bergantung pada tanah untuk menanam tanaman seperti durian, karet, aren, rempah-rempah, umbi-umbian, kayu keras dan berbagai tumbuhan lainnya yang selama ini menjadi sumber penghasilan utama mereka.
Pemerintah dan Balai Besar Wilayah Sungai Serayu Opak (BBWS-SO) menyelenggarakan agenda Konsultasi Publik terkait pengadaan tanah untuk pembangunan demi kepentingan umum yang kenyataannya sangat jauh dari mekanisme timbal balik secara dua arah. Konsultasi hanya dijadikan ajang pendataan bagi warga terdampak. Masyarakat Desa Wadas diminta untuk menandatangani surat dengan dalih “pencocokan nama.” Warga Wadas TIDAK mengetahui bahwa penandatanganan tersebut menjadi persetujuan dan prasyarat dalam terbitnya Izin. Pada forum tersebut, masyarakat Desa Wadas melayangkan protes. Warga Desa Wadas menginginkan pemerintah menanggapi keputusan warga dan mencari solusi lain agar TIDAK menambang di Desa Wadas. Alih-llih menjalankan asas Good Governance atau Pemerintahan yang Baik, pemerintah dan pemrakarsa BBWS-SO justru secara terang-terangan mengabaikan aspirasi warga. Pemerintah dan pemrakarsa tetap menerbitkan Surat Keputusan Gubernur Jawa Tengah Nomor 590/41 Tahun 2018 tentang Persetujuan Penetapan Lokasi Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan Bendungan Bener di Kabupaten Purworejo dan Kabupaten Wonosobo Provinsi Jawa Tengah. Wilayah yang menjadi lokasi pembangunan Bendungan Bener diantaranya Desa Wadas, Desa Bener, Desa Karangsari, Desa Kedungloteng, Desa Nglaris, Desa Limbangan, Desa Kemiri, Desa Gadingrejo, Desa Bener, Desa Guntur, dan Desa Burat[1].
Proyek Bodong Sodetan Sungai Ciujung Lama Serang – Banten. Memasuki tiga bulan terakhir, pembangunan intake atau sodetan Kembali diguncang oleh rakyat dan elemen aktivis lingkungan hidup di Serang Utara – Banten. Pasalnya, bangunan intake (sodetan) yang semula ditunda sementara waktu akan Kembali dilanjutkan dengan dalih tidak akan mencemari daerah aliran Sungai (DAS) Sungai Ciujung Lama. Pembangunan normalisasi sungai Ciujung Lama yang diperuntukan untuk memenuhi kuantitas (jumlah) air baku sebanyak 1.600.000 meter kubik atau 320 liter/detik, merupakan sebuah target yang dipaksakan dengan mengorbankan masuknya aliran air sungai Ciujung Baru yang tercemari limbah ke sungai Ciujung Lama. Proses memasukan air yang tercemar melalui konstruksi Intake atau sodetan di proyek normalisasi sungai Ciujung Lama Tahap II ini, merupakan kesalahan yang tidak bisa lagi ditolerir. Sebab, sumber air bakunya diambil dari racun yang membentang di sepanjang aliran sungai Ciujung Baru (Kali Jongjing). Jika pembangunan sodetan atau intake ini tetap dipaksakan, maka pemerintah daerah maupun pemerintah pusat, sedang berupaya membagi limbah ke sungai Ciujung Lama dan akan mengancam kehidupan rakyat di sepanjang bantaran Sungai Lama. Balai Besar Wilayah Sungai Ciujung, Cidurian, dan Cidanau (BBWSC3) wajib melihat dan memandang sungai Ciujung Lama sebagai warisan tata Kelola air terbaik sepanjang sejarah kesultanan Banten, dan menjadi satu – satunya maha karya Sultan Ageng Tirtyasa (1651-1683). Jika Sungai Ciujung Lama menjadi target pembagian pembuangan limbah, maka Langkah tersebut merupakan usaha untuk merusak prasasti dan sistem tata Kelola Air peninggalan Sultan Ageng Tirtayasa.
Usulan normalisasi Sungai Ciujung ini mengacu pada secarik surat bupati Serang tanggal 18 September 2017, tentang permohonan pembangunan Kali Mati (Eks Sungai Ciujung Lama), yang ditujukan kepada Menteri Pekerjaan Umum Dan Perumahan Rakyat RI. Surat tersebut tidak memuat satupun permohonan terkait dengan pengambilan sumber air baku dari sungai Ciujung Baru yang terpapar racun industri (limbah). Hal ini menunjukkan bahwa Bupati Serang ikut bertanggung jawab atas bangunan intake (sodetan), yang telah menimbulkan keresahan di tengah masyarakat bantaran sungai Ciujung Lama. Jika kemudian pemanfaat air baku di long Storage ini akan dikelola oleh PDAM Tirta Al-Bantani, maka PDAM wajib menjelaskan dengan sangat terbuka, mengapa tidak langsung mengambil dan mengelola air dari sungai Ciujung Baru (Kali Jongjing).
Komunitas Masyarakat Bantaran Sungai (KOMBAT’S), yang menghimpun berbagai organ perjuangan lainya menuntut penghentian secara permanen Bangunan Intake dan mengatasi pencemaran Sungai Ciujung, kaji ulang Analisis Dampak Lingkungan (AMDAL) dan pembubaran Balai Besar Wilayah Sungai Ciujung, Cidurian, Dan Cidanau (BBWSC3).
Kampung-kampung sungai yang digusur demi mega proyek infrastruktur, dituduh sebagai penyebab banjir dan penghalang pembangunan harus segera dihentikan. Begitu pula dengan merusak kawasan ekosistem air lalu membangun waduk adalah kebijakan keliru.
Selanjutnya, diperlukan konsolidasi luar warga masyarakat untuk mengambil peran utama atas pengelolaan air dengan melandaskan pada:
Prinsip Dasar dan Strategi Gerakan Kewargaan untuk Keadilan Air:
- Menjamin kesadaran seluruh lapisan masyarakat (sebagian besar petani, warga kota, dan perempuan) tentang status air di DAS Utama yang meliputi: ketersediaan air, tingkat pencemaran (industri, penyebab pencemaran, dampak perubahan iklim, ekologi sungai). Untuk memahami pandangan masyarakat tentang pengelolaan sungai yang berkelanjutan dengan perlindungan ekologi sungai serta memfasilitasi hak atas air bagi masyarakat, perlu dilakukan upaya ‘trans-aksi sungai yang berpusat pada masyarakat’. Dibutuhkan penelitian terbuka dan partisipasif, secara bersamaan, konsultasi dengan pengguna air yang berbeda akan diperhitungkan melalui rapat – rapat warga di titik-titik sungai utama. Untuk merampingkan temuan dan memperkaya studi, dari waktu ke waktu berbagai metode konsultasi akan digunakan terutama dengan masyarakat dan perempuan mulai dari wawancara melalui diskusi kelompok terfokus hingga konsultasi masyarakat.
- Membentuk unit pengelola air yang inklusif (Dewan Air – Sungai): Di bawah IWRM, proposisi River Basin Organisations (RBOs) bersifat eksklusif, tidak transparan dan tidak akuntabel. Seruan ini bertujuan untuk memberikan proses yang inklusif dimana semua pemangku kepentingan mulai dari petani, perempuan, nelayan, masyarakat adat hingga warga yang bergantung pada sungai akan terbentuk di seberang sungai. Sudah ada Asosiasi Pengguna Air, unit pemerintahan lokal yang akan diikat dalam proses perencanaan pengelolaan sungai. Hal ini akan meminimalkan potensi konflik air di antara berbagai pemangku kepentingan dan akan memungkinkan pengelolaan air berkelanjutan jangka panjang di sepanjang sungai. Setidaknya enam unit pengelola air tersebut akan dibentuk di sepanjang Sungai Citarum & Ciliwung dengan setidaknya sepertiga akan diisi oleh perempuan di setiap unit.
- Melibatkan instansi pemerintah: berinteraksi dengan instansi pemerintah dengan rencana yang disepakati dalam Majelis Sungai. Potensi rencana pengembangan sumber daya air dapat menjadi proses umpan balik dimana unit pengelola air akan menyampaikan pandangan mereka kepada pemerintah.
Rekomendasi dari Pembubaran BBWS
- Bubarkan Dirjen Sumber Daya Air dari Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat, dan bentuk Kelembagaan Pengelola Air yang menempatkan suara dan aspirasi warga sebagai pusat perencanaan pengelolaan.
- Otoritas pengelolaan sungai dilimpahkan ke masing-masing pemerintah daerah dengan koordinasi forum right-holders hulu hilir, beserta payung hukum pelimpahan otoritas sungai dari pemerintah pusat ke pemerintah daerah.
- Audit tata ruang berbasis DAS / water catchment area / watershed / River Basin.
- Konsep Berbagi Ruang, pemerintah daerah mengalokasikan ruang untuk wilayah-wilayah yang diadaptasi sebagai waduk rawa ataupun wilayah pasang surut air (parkir air), sempadan sungai, taman, ketika musim hujan menjadi tempat retensi air, ketika musim kemarau menjadi ruang publik atau taman.
- Buka Partispasi publik dalam tata kelola sungai dengan menghidupkan kembali pangkalan-pangkalan sungai sebagai akses kampung-kampung. Cabut Perpres no 10 2017 tentang Dewan Sumberdaya Air yang melibatkan masyarakat sebatas tokenisme.
Jakarta, 27 Juli 2021
Selamatkan Tanah dan Air Indonesia
Untuk info yang lebih lengkap silakan menghubungi:
Sudirman Asun (081212125108)
Muhammad Reza (081370601441)
[1] Rilis Gempa Dewa dan kronologi penolakan dapat di baca di https://instagram.com/wadas_melawan?utm_medium=copy_link